Polri: Gas Air Mata yang Dipakai Brimob Tidak Mematikan!
Polri mengklaim gas air mata yang dipakai Brimob tidak mematikan.
Hal tersebut sekaligus membantah soal kematian ratusan penonton di kerusuhan Stadion Kanjuruhan karena gas air mata.
Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo mengatakan bahwa hal tersebut didukung oleh keterangan para ahli.
Satu di antaranya pernyataan Mas Ayu Elita Hafizah yang juga pakar dari Universitas Indonesia (UI).
"Beliau menyebutkan bahwa termasuk dari Doktor Mas Ayu Elita bahwa gas air mata atau CS ini ya dalam skala tinggi pun tidak mematikan yang digunakan oleh Brimob," kata Dedi di Kantornya, Jakarta Selatan, Senin (10/10/2022).
Dedi kemudian menunjukkan ada 3 jenis gas air mata yang dipakai oleh Brimob Polri. Yakni, gas air mata berwarna merah, biru hingga hijau yang masing-masing memiliki tingkat efektivitas zat kimianya.
"Yang pertama (hijau) berupa smoke ini hanya ledakan berisi asap putih. Kemudian yang kedua (biru) sifatnya sedang jadi kalau untuk klaster dari jumlah kecil menggunakan gas air mata yang sifatnya sedang dan yang merah adalah untuk mengurai masa dalam jumlah yang cukup besar," ungkapnya.
Oleh karena itu, Dedi meyakini bahwa gas air mata yang dipakai Brimob saat tragedi Kanjuruhan tidak mematikan.
"Saya sekali lagi saya bukan expertnya, saya hanya bisa mengutip para pakar menyampaikan ya CS atau gas air mata dalam tingkatannya tertinggi pun tidak mematikan," pungkasnya.
Polri Sebut Korban Kanjuruhan Tewas Bukan Karena Gas Air Mata, Tapi Karena Kekurangan Oksigen
Polri membantah ratusan penonton yang meninggal dunia dalam tragedi Kanjuruhan karena terdampak gas air mata.
Korps Bhayangkara mengklaim mereka meninggal dunia karena kekurangan oksigen.
Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo menyatakan bahwa keyakinan tersebut disampaikan seusai mendapatkan keterangan dari para ahli hingga dokter spesialis dalam, paru, mata hingga THT.
"Tidak satu pun (ahli dan dokter) yang menyebutkan bahwa penyebab kematian adalah gas air mata tapi penyebab kematian adalah kekurangan oksigen," kata Dedi di Kantornya, Jakarta Selatan, Senin (10/10/2022).
Dedi menuturkan bahwa ratusan korban tewas dalam tragedi Kanjuruhan disebut karena terinjak hingga berdesak-desakan yang mengakibatkan kekurangan oksigen. Dengan kata lain, bukan karena terdampak gas air mata polisi.
"Karena apa? Terjadi berdesak-desakan terinjak-injak, bertumpuk-tumpukan mengakibatkan kekurangan oksigen di pada pintu 13, pintu 11, pintu 14, dan pintu 3. Ini yang jadi korbannya cukup banyak," ungkapnya.
Lebih lanjut, Dedi menuturkan bahwa para ahli dan dokter spesialis menyatakan bahwa dampak gas air mata hanya menyebabkan iritasi mata, kulit hingga pernafasan.
"Dokter spesialis mata menyebutkan ketika kena gas air mata pada mata khususnya memang terjadi iritasi, sama halnya seprti kita kena air sabun. Terjadi perih tapi pada beberapa waktu bisa langsung sembuh dan tidak mengakibatkan kerusakan yang fatal. Sama halnya gas air mata juga kalau terjadi iritasi pada pernafasan pun sampai saat ini belum ada jurnal ilmiah yang menyebutkan ada fatalitas gas air mata yang mengakibatkan orang meninggal dunia," jelasnya.
Dedi menambahkan gas air mata tak memiliki racun yang dapat mengakibatkan kematian seseorang. Hal itu pun sesuai dengan jurnal ilmiah hingga keterangan para ahli.
"Di dalam gas air mata tidak ada toksin atau racun yang mengakibatkan matinya seseorang. Tentunya ini masih butuh pendalaman-pendalaman lebih lanjut. Apabila ada jurnal ilmiah baru, temuan yang baru tentu akan menjadi acuan juga bagi tim investigasi bentukan bapak Kapolri masih terus bekerja," pungkasnya.
Gas Air Mata yang Ditembak Saat Tragedi Kanjuruhan Jadi Barang Bukti
Anggota Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Tragedi Kanjuruhan Rhenald Kasali mengatakan saat ini semua bukti yang dikumpulkan oleh tim telah dibawa ke Jakarta.
Salah satu bukti yang dibawa, kata dia, adalah gas air mata.
Berdasarkan investigasi, kata dia, ada korban yang menyatakan baru merasakan dampak gas air mata saat peristiwa kerusuhan usai laga Arema VS Persebaya di Stadion Kanjuruhan Malang keesokan harinya.
Untuk itu, kata dia, tim mencurigai gas air mata yang digunakan dalam peristiwa tersebut kedaluwarsa.
"Jadi memang ada korban yang hari itu dia pulang tidak merasakan apa-apa, tapi besoknya dimulai dengan hitam, setelah itu baru kemudian matanya menurut dokter perlu waktu sebulan untuk kembali normal. Itu pun kalau bisa normal," kata Rhenald di kantor Kemenko Polhukam RI Jakarta Pusat pada Senin (10/10/2022).
"Dan salah satu kecurigaan kami adalah kedaluwarsa dan itu sudah dibawa ke laboratorium, semuanya diperiksa," sambung dia.
Ia mengatakan, apabila nantinya dari hasil pemeriksaan gas air mata tersebut benar kedaluwarsa maka hal tersebut merupakan pelanggaran.
"Kalau itu kedaluwarsa, tentu itu adalah pelanggaran," kata Rhenald.
Rhenald kemudian ditanya wartawan mengenai statement pihak kepolisian yang menyatakan adanya gas air mata kedaluwarsa yang digunakan dalam tragedi tersebut.
Menurutnya, penggunaan gas air mata kedaluwarsa adalah penyimpangan dan pelanggaran.
"Tentu itu adalah penyimpangan, tentu itu adalah pelanggaran," kata Rhenald.
Ia pun mengatakan kepolisian sekarang bukan polisi yang berbasis militer tetapi polisi berkarakter sipil
Dengan demikian, kata dia, polisi juga harus menjadikan kitab HAM sebagai pedoman.
"Jadi bukan senjata untuk mematikan, tapi senjata untuk melumpuhkan supaya tidak menimbulkan agresivitas. Yang terjadi adalah justru mematikan. Jadi ini tentu harus diperbaiki," kata dia.
Wajah Jenazah Korban Tragedi Kanjuruhan Membiru
Penggunaan gas air mata oleh kepolisian hingga berujung tragedi Kanjuruhan terus disorot.
Ketua Panpel Arema FC Abdul Haris, tersangka Tragedi Stadion Kanjuruhan sampai meminta korban tewas Tragedi Kanjuruhan diautopsi.
Menurutnya autopsi diperlukan agar diketahui, para korban meninggal karena apa.
Apakah meninggal karena berhimpitan atau karena gas air mata.
Karena menurut dia banyak korban Tragedi Kanjuruhan yang wajahnya membiru.
Ketua Panpel Arema FC Abdul Haris Minta Kandungan dalam Gas Air Mata Diungkap
Ketua Panpel Arema FC Abdul Haris, tersangka Tragedi Stadion Kanjuruhan, membeberkan beberapa dugaan terkait meninggalnya ratusan korban jiwa.
Ratusan korban jiwa yang didominasi Aremania itu terjadi selepas laga Arema FC vs Persebaya Surabaya, Sabtu (1/10/2022) malam.
Abdul Haris muncul dalam pers rilis di Kantor Arema FC, Kota Malang, Jumat (7/10/2022).
Selain menyesalkan banyaknya korban meninggal, Abdul Haris juga meminta pihak kepolisian mengusut tuntas dan mengungkap kandungan apa yang ada dalam gas air mata, hingga membuat ratusan orang meninggal dunia.
Minta Korban Tragedi Kanjuruhan Diautopsi
Menurut Abdul Haris, gas air mata yang ditembakan polisi saat kericuhan tahun 2018 lalu ketika Arema melawan Persib Bandung, berbeda dengan gas air mata yang ditembakan usai pertandingan Arema FC vs Persebaya Surabaya.
"Saat tanggal 1 Oktober kemarin, saya masuk ke dalam lapangan dengan mata perih dan sesak napas."
"Saya masuk ke dalam di situ sudah banyak adik-adik kita, saudara-saudara kita bergeletakan."
"Mereka saya lihat ada yang lebam mukanya, mukanya membiru, tidak bisa napas."
"Ada yang sekarat dan saya pegang kakinya dan lehernya, sudah meninggal," kata Abdul Haris, Jumat (7/10/2022).
Baca juga: Aremania Menggugat: Penetapan 6 Tersangka Titik Awal Pengusutan Tragedi Kanjuruhan
Untuk itu pihaknya memohon agar soal gas air mata yang ditembakan pihak kepolisian benar-benar dibuka seterang-terangnya.
Bahkan ia juga meminta agar korban meninggal di-autopsi untuk mengetahui apa penyebab kematian mereka.
"Tolong diperiksa itu gas air mata yang seperti apa."
"Karena gas air mata yang saya rasakan saat tanggal 1 itu tidak sama ketika kejadian gas air mata tahun 2018."
"Saat 2018 Aremania bergeletakan masih bisa dikasih kipas dikasih air bisa tertolong."
"Ini sudah tidak bisa apa apa. Korbannya saya lihat mukanya biru biru semua," ujarnya.
"Saya juga minta ini di-autopsi agar diketahui ini meninggal karena apa, apakah meninggal karena berhimpitan atau karena gas air mata."
"Tolong yang punya kewenangan, tolong ini diusut. Saya mohon, kenapa itu harus terjadi."
"Kalau menghalau agar Aremania tidak masuk ke lapangan kenapa ditembakkan ke pintu evakuasi, kenapa di sana?"
"Di sana itu yang lihat adalah keluarga, anak anak kecil, wanita, yang masih umur belia."
"Mereka bukan suporter murni tapi mereka keluarga."
"Pintunya juga sama, SOP nya juga sama seperti 2018. Ini yang jadi beban saya, tolong Aremania, suporter seluruh Indonesia, marilah bersama sama untuk menegakan kebenaran ini sama sama," jelas Abdul Haris.
Baca juga: Netizen Desak Iwan Bule Mundur dari Ketua Umum PSSI, Agum Gumelar dan Komisi Wasit Beri Pembelaan
Sebelumnya juga muncul dugaan gas air mata yang ditembakan pihak kepolisian kedaluwarsa.
Hal itu kini masih menjadi Investigasi pihak Komnas HAM.
Haris mengaku ikhlas ditetapkan sebagai tersangka.
"Kalau saya dijadikan tersangka saya ikhlas tanggung jawab ini saya pikul, saya takut siksa Allah daripada siksa dunia. Secara moral saya tanggung jawab, saya sebagai ketua Panpel tidak bisa melindungi suporter, adik, saudara saya," ujarnya sembari menahan tangis. (tribun network/thf/Tribunnews.com)