"'Death of expertise', dimana kepakaran tidak hanya berasal dari satu sumber, sekarang sudah terjadi karena setiap orang memiliki hak untuk berbicara, itulah fungsi dari netizen untuk mengecek. problemnya adalah pakarnya sendiri yang tidak mau berbicara, dimana terdapat tantangan untuk mengkomunikasikan bahasa-bahasa ilmiah melalui media dan aktivis membantu untuk memudahkan teknologi digital bisa menjadi pisau bermata dua, bisa membuat demokrasi semakin berkembang atau sebaliknya, yaitu backsliding democracy" ujarnya.
Selain itu, Founder Asumsi Pangeran Siahaan mengatakan bahwa aktivisme konvensional seperti aksi turun ke jalan dengan aktivisme digital bukanlah hal yang bertentangan.
Sifat mereka adalah saling melengkapi dan mendukung satu sama lain.
Sebagai praktisi jurnalisme dalam media lama dan media baru, Pangeran Siahaan menawarkan perspektif yang sangat menarik.
Menurutnya, apabila dibandingkan dengan negara lain di regional ASEAN, Indonesia masih memiliki demokrasi yang lebih baik.
“Kita punya regulasi untuk masalah hoaks dan lainnya. Kalau backsliding democracy ke zaman Orde Baru dahulu menjadi sulit ketika masih ada Generasi Z. Freedom dengan segala konsekuensi lebih baik daripada penekanan dengan segala konsekuensi,” ujarnya.
Dalam perspektif lainnya, yaitu dari Iqbal Muhammad selaku CEO Pusat Penerangan Politik, media pendidikan politik baru yang bergerak di sosial media, mengatakan bahwa isu-isu yang lebih cepat direaksi oleh masyarakat adalah memang isu-isu yang dekat dalam kehidupan sehari-hari.
Baca juga: Kementerian Kominfo Bentuk Satgasus Kawal Ruang Digital Jelang Pemilu 2024
Oleh sebab itu, Puspenpol selalu mengangkat tema yang dikritisi mahasiswa.
“Kalau Puspenpol selalu membahas yang dekat dengan mahasiswa, seperti mengkritisi pemerintah, isu kekerasan seksual, dan masyarakat yang termarjinalkan,” ujarnya.