TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) menyoroti langkah Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang dinilai lamban memberikan perlindungan kepada keluarga korban Kanjuruhan yang mendapat intimidasi Polisi.
Perwakilan Federasi KontraS Andy Irfan mengatakan, penyesalannya karena LPSK tidak bergerak cepat untuk memberikan perlindungan tersebut.
"Saya sangat menyesalkan LPSK tidak bertindak cepat dalam memberikan skema perlindungan ke Defi, ayah korban yang telah bersedia melakukan otopsi," kata Andy kepada Tribunnews.com, Kamis (20/10/2022).
Padahal kata Andy, keluarga dari Defi telah mengajukan permohonan perlindungan ke LPSK.
Seharusnya, LPSK kata dia, bisa segera memberikan perlindungan mengingat riskannya kasus yang mewaskan sedikitnya 133 orang tersebut.
"Sedari awal, Defi ini telah mengajukan program perlindungan ke LPSK," ucap dia.
Sebelumnya, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) bakal melakukan pendalaman informasi atas adanya dugaan intimidasi yang dilakukan anggota polisi kepada keluarga korban tragedi Kanjuruhan.
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu menyatakan, pihaknya akan kembali ke Kanjuruhan untuk menggali informasi tersebut.
Hal ini dilakukan mengingat kata Edwin, LPSK menyatakan terbuka dan siap untuk melakukan perlindungan kepada para korban dan saksi tragedi yang menewaskan sedikitnya 133 orang itu.
"Tim LPSK akan dialami itu (adanya intimidasi). Iya (LPSK akan ke Kanjuruhan) dalam waktu segera," ucap Edwin saat dikonfirmasi Tribunnews.com, Rabu (19/10/2022).
LPSK kata Edwin, telah menerima informasi adanya dugaan intimidasi oleh anggota polisi kepada keluarga korban untuk membatalkan rencana melakukan autopsi terhadap jenazah anaknya itu sejak kemarin.
Baca juga: LPSK Bakal Kembali ke Kanjuruhan, Dalami Dugaan Intimidasi dari Anggota Polisi ke Keluarga Korban
Hanya saja, informasi yang didapat tersebut kata Edwin harus didalami kembali guna meyakinkan lebih jauh soal adanya dugaan itu.
"Kami kemarin dapat informasinya. Akan kami kroscek dulu," ucap Edwin.
Pendalaman yang akan dilakukan yakni salah satunya dengan menanyakan kepada pihak yang bersangkutan perihal maksud dari anggota kepolisian tersebut meminta untuk membatalkan autopsi.
Hanya saja, Edwin tak membeberkan secara detail perihal mekanisme apa yang nantinya akan dilakukan LPSK atas kejadian tersebut.
"Harus didalami apa yang membuat yang bersangkutan mencabut persetujuan autopsi itu? Apakah hubungannya kedatangan polisi dan pencabutan persetujuan autopsi tersebut? Apa keperluannya 3 kali polisi datangi yang bersangkutan?" tutur Edwin.
Sebagai informasi, proses autopsi korban Tragedi Kanjuruhan Malang akhirnya gagal dilaksanakan dalam waktu dekat ini.
Baca juga: Ada Isu Intimidasi, Bagaimana Kelanjutan Bongkar Kubur 2 Korban Tragedi Kanjuruhan untuk Autopsi ?
Hal ini seiring dengan pernyataan Kapolda Jawa Timur, Irjen Pol Tony Hermanto yang mengatakan, tindakan autopsi urung dilakukan karena pihak keluarga tidak mengizinkan.
Menindaklanjuti hal tersebut, pendamping Tim Gabungan Aremania (TGA), Andi Irfan menuding, gagalnya autopsi ini karena ada upaya intimidasi dari polisi kepada keluarga korban.
Hal ini berdasarkan pengakuan dari pihak keluarga korban yang bernama Defi, warga Bululawang, Kabupaten Malang.
Dia kehilangan dua anaknya, dan sempat meminta agar mengautopsi jasad kedua anaknya tersebut.
Akan tetapi, sejak Defi menandatangani surat ketersediaan untuk dilakukan autopsi tersebut, rumahnya sering didatangi oleh polisi.
"Di sini keluarga korban punya pemahaman, bahwa polisi sedang mengancam dan mengintimidasi, walaupun tidak ada kata-kata verbal yang mengarah ke sana. Tapi kehadiran mereka adalah ancaman kepada keluarga korban," ucapnya saat ditemui TribunJatim.com, Rabu (19/10/2022).
Dalam kasus ini, pria yang juga Sekjen KontraS itu menyampaikan, Defi telah diarahkan menulis surat pernyataan yang berisi pembatalan atas rencana autopsi.
Dia mengatakan, aparat kepolisian dari Polres Malang yang mengarahkan secara detail, bagaimana cara membuat surat pernyataan yang berisi pembatalan rencana autopsi.
Padahal, Devi sebelumnya telah membuat surat pernyataan bersedia kedua anaknya untuk diautopsi.
"Jadi saya kira kalau dari pihak kepolisian menyatakan tidak ada intimidasi, itu tidak sesuai dengan fakta dan kenyataan di lapangan. Saya melihat polisi menghalangi upaya penegakan hukum. Menghalangi upaya bersama untuk mengungkap fakta yang sebenarnya terjadi di Kanjuruhan," terangnya.
Sebelumnya, TribunJatim.com sempat menghubungi Defi melalui sambungan telepon pada Selasa (18/10/2022) kemarin.
Pada saat itu, Defi membenarkan, ada upaya intimidasi yang menyebabkan kedua anaknya yang menjadi korban Tragedi Kanjuruhan urung di autopsi.
Defi membenarkan, rumahnya telah didatangi oleh polisi, yang membuat dirinya tidak tenang.
"Intimidasi itu benar. Rumah saya didatangi polisi. Saat ini saya masih di Blitar," ucap Defi.