Kepada wartawan, Legiman menilai persoalan RUU ini salah satunya karena aspek tunjangan guru dan dosen yang mengambang.
"Walaupun di situ dikatakan bahwa tentang tunjangan guru dosen itu akan ada secara otomatis. Namun itu masih ngambang kalau menurut saya itu masih mengambang dan tidak pro terhadap guru dan dosen apalagi dengan pengawas yang notabenenya itu pengawas adalah sebagai ujung tombak dari pada dunia pendidikan khususnya," tutur Legiman dalam keterangan yang diterima, Kamis (20/10/2022).
Oleh karena itu, dia menilai keputusan DPR untuk tak memasukkan RUU Sisdiknas ke dalam Prolegnas 2022 ini sudah tepat.
Menurutnya RUU ini harus dikaji dan direvisi ulang lagi.
"Sangat tepat (keputusan DPR ini) makanya saya mengapresiasi ketika DPR itu menunda atau direvisi ulang dikaji ulang itu RUU. Kami sangat apresiasi dan kami sangat setuju dan saya selalu itulah berangkali yang kami harapkan dari DPR untuk mendengar suara suara arus bawah," ungkapnya.
Sorotan terhadap kelemahan RUU Sisdiknas ini juga disampaikan oleh praktisi dan
pengamat pendidikan, Salman Naning.
Dia menilai absennya konteks madrasah dalam RUU Sisdiknas.
"Jadi madrasah dalam konteks ini kenapa itu kok hilang. Walaupun katanya ada, pendidikan-pendidikan kita ya beda. Kita punya di madrasah, kita punya pendidikan sekolah-sekolah MAN itu seperti di majelis ta'lim dan lain sebagainya. Tapi rumahnya berbeda dengan klausal madrasah itu sendiri," ujar Salman.
Baca juga: Revisi UU Sisdiknas Harus Menyeluruh untuk Menghasilkan Sistem Pendidikan yang Lebih Baik
Untuk itu, Salman mendukung DPR jika RUU Sisdiknas ini tidak masuk dalam Prolegnas 2022.
Menurutnya, membicarakan RUU ini memang tidak boleh tergesa-gesa.
"Jadi kalau kita kalau bicara undang-undang tidak usah tergesa-gesa atau tergopoh-gopoh UU harus diciptakan dihasilkan melalui pemikiran bersama bukan hanya pemikiran segelintir orang yang ada di satu area saja," ujarnya.