Dalam sesi tanya jawab, terdapat berbagai isu yang menarik perhatian, antara lain yang terkait dengan perkembangan Ibukota Nusantara (IKN), potensi Indonesia di dalam skema Kerjasama IPEF, serta upaya pemerintah dalam mendorong industri semikonduktor di Indonesia.
Terkait dengan kerjasama Indo-Pacific Economic Framework (IPEF), Menko Airlangga menekankan bahwa Indonesia optimis terhadap deliverables dari IPEF dan mempunyai komitmen kuat terhadap semua pilar IPEF. Hal tersebut penting karena anggota-anggota IPEF memiliki latar kondisi ekonomi yang berbeda. Selain pilar-pilar dalam IPEF tersebut, Menko Airlangga menegaskan tentang pentingnya akses pasar dalam IPEF.
“Indonesia berharap IPEF dapat memiliki komitmen serta konsensus di antara negara-negara yang terlibat, dan kami berharap dalam satu tahun Indonesia dan negara-negara lain dapat mencapai kesepakatan dalam semua pilar pembahasan tersebut,” kata Menko Airlangga.
Selanjutnya, terkait keketuaan Indonesia pada ASEAN tahun 2023, Menko Airlangga menyatakan bahwa Indonesia akan melanjutkan ke-empat pilar yang dibahas dalam G20 yakni arsitektur kesehatan global, transformasi digital, transisi energi, dan ketahanan pangan.
“Saya ingin menggarisbawahi bahwa ASEAN dengan 10 negara anggota memiliki ekonomi, luas lahan dan populasi yang luas. Indonesia terus mendukung komitmen Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Selain itu juga terdapat Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), yang pertama kali diperkenalkan pada tahun 2011 saat Indonesia memimpin ASEAN. Daya tarik perjanjian tersebut sekarang bahkan lebih tinggi, sangat penting untuk mendukung rantai pasokan global, serta kami berharap bahwa fasilitasi untuk menghilangkan 92% dari tarif bea masuk,” jelas Menko Airlangga.
Pertemuan tersebut berlangsung cukup interaktif. Menko Airlangga juga menjawab pertanyaan-pertanyaan para audiens yang hadir secara hybrid terkait G20, IPEF, ketahanan pangan Indonesia, pemindahan Ibu Kota Negara dan transisi energi yang tengah dilakukan Indonesia. Pertemuan tersebut dimoderatori oleh Director CSIS untuk Kawasan Asia Tenggara Gregory B. Poling.(*)