TRIBUNNEWS.COM - Johanis Tanak resmi menjadi Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggantikan pimpinan sebelumnya, Lili Pintauli Siregar yang mengundurkan diri lantaran dugaan pelanggaran etik gratifikasi MotoGP Mandalika.
Johanis baru saja dilantik oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Jumat (28/10/2022) di Istana Negara, Jakarta Pusat.
Dikutip dari Kompas.com, pelantikan ini berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 103/P tentang Pengangkatan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Adapun dalam pelantikan tersebut dihadiri oleh beberapa pejabat seperti Mensesneg Pratikno, Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Ketua KPK Firli Bahruri, hingga anggota Dewan Pengawas (Dewas) KPK seperti Albertina Ho, Harjono, dan Syamsuddin Haris.
Sebelum dilantik, ia sempat mengusulkan restorative justice bagi pelaku korupsi yang menimbulkan kontroversi.
Baca juga: Jadi Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak Punya Harta Rp 8,9 Miliar dan 4 Tanah
Seperti apa lengkapnya usulan tersebut? Berikut pernyataannya.
Usulkan Restorative Justice bagi Koruptor saat Fit and Proper Test
Dalam perjalanannya menjadi Wakil Ketua KPK, ada pernyataan kontroversial yang dilontarkan oleh Johanis Tanak.
Hal ini disampaikannya saat menjalani uji kelayakan dan kepatutan atau fit and proper test calon pimpinan (capim) KPK di Komisi III DPR pada 28 September 2022 lalu.
Johanis menganggap restorative justice tidak hanya bisa diterapkan dalam tindak pidana umum saja tetapi juga tindak pidana khusus seperti korupsi.
“Karena pikiran saya, RJ (restorative justice) tidak hanya bisa dilakukan pada tindak pidana umum termasuk juga perkara tindak pidana khusus dalam hal ini korupsi,” jelasnya dikutip dari Tribunnews.com.
Selain itu, ia menilai restorative justice tetap bisa diterapkan meski dalam UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) disebutkan apabila ditemukan kerugian negara maka tidak bisa menghapus proses tindak pidana korupsi.
Dirinya pun menggunakan teori hukum yang ada untuk menjawab penerapan restorative justice itu yakni mengesampingkan peraturan yang ada sebelumnya dengan aturan yang ada setelahnya.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan penerapan restorative justice dalam Tipikor dapat menggunakan UU BPK.