"Untuk ke depan, tenaga kerja yang meningkat hanya di sektor hilir sebab di hulu ada moratorium praktis tidak ada perluasan kebun," tandas Eddy.
Baca juga: Guru Besar IPB Sebut Hilirisasi Industri Sawit Berkelanjutan Harus Berpedoman pada SDGs
Sebelumnya, Bappenas pada 2018 pernah menyebutkan, industri kelapa sawit ini mampu menyerap 16,2 juta orang tenaga kerja dengan rincian 4,2 juta tenaga kerja langsung dan 12 juta tenaga kerja tidak langsung.
Pengamat Ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Tadjudin Nur Effendi menilai penyerapan tenaga kerja sawit Indonesia masih memiliki potensi untuk meningkat.
"Angkanya besar karena mayoritas di Sumatera Utara, Riau, kemudian di beberapa tempat di Kalimantan itu kan kebun kelapa sawit cukup besar," ujar Tadjudin.
Bahkan, menurut Tadjudin, jumlah 16 juta masih dirasa belum maksimal.
Ia menaksir penyerapan tenaga kerja sawit Indonesia bisa mencapai 20 hingga 25 juta tenaga kerja.
"Di beberapa daerah, masih banyak yang sulit mencari tenaga kerja sawit," imbuhnya.
Senada dengan Tadjudin, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda, memproyeksikan ke depan permintaan tenaga kerja sawit masih bisa meningkat pesat.
"Data yang resmi menyebutkan ada sekitar 2,7 juta petani dan 4,4 juta pekerja di bidang perkebunan kelapa sawit. Data tersebut tahun 2019/2020. Tentu jumlahnya bisa jadi bertambah mengingat biasanya permintaan tenaga kerja akan meningkat pesat ketika harga kelapa sawit naik," ujar Huda.
Salah satu contoh perusahaan kelapa sawit yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar adalah Wilmar.
Besarnya jumlah tenaga kerja karena perusahaan tersebut bergerak dari hulu dan hilir.
Untuk perkebunan saja, Wilmar tercatat telah menyerap tenaga kerja lebih dari 11 ribu karyawan.
Sedangkan karyawan untuk hilir mencapai lebih dari 31 ribu orang.
Jika ditambah dengan dampak berganda (multiplier-effect), diperkirakan mencapai dua hingga tiga kali lipatnya.