TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Yudisial (KY) turut merespons soal kebijakan baru dari pimpinan Mahkamah Agung (MA) terkait tugas prajurit TNI menjaga gedung MA.
Ketua Bidang SDM, Advokasi, Hukum, Penelitian dan Pengembangan KY Binziad Kadafi mengatakan, kebijakan yang dibuat oleh pimpinan MA tersebut dipastikan sudah dalam banyak pertimbangan.
Beberapa pertimbangan di antaranya kata Binziad, soal kelayakan satuan pengamanan gedung peradilan mulai dari tingkat pertama, tingkat banding hingga pengadilan tinggi. Hal itu kata dia sudah diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma).
"Saya rasa kriterianya sudah ditentukan cukup memadai dalam Perma 5 dan 6 tahun 2020 tentang protokol persidangan dan pengamanan pengadilan," kata Binziad saat konferensi pers secara daring dari Gedung KY, Senin (14/11/2022).
"Di situ memang diatur bahwa di berbagai pengadilan khususnya Pengadilan tingkat pertama dan banding itu perlu dilakukan sertifikasi," sambungnya.
Tak hanya itu, beberapa kasus soal upaya merendahkan kehormatan hakim juga diyakini oleh Binziad menjadi salah satu pertimbangan adanya kebijakan tersebut.
Bahkan kata dia, untuk tahun ini saja sudah ada sedikitnya 15 kasus upaya merendahkan kehormatan hakim yang terjadi di lembaga peradilan Indonesia.
Kekinian, kasus penyerangan terhadap hakim Pengadilan Agama di Lumajang yang menurut Binziad, sampai menderita luka serius.
"Itu menunjukkan sistem pengaman yg baik itu perlu segera diterapkan di berbagai Pengadilan," tuturnya.
Atas pertimbangan tersebut, kata dia, pimpinan Mahkamah Agung mengambil kebijakan dengan menambahkan petugas pengamanan di MA dari personel militer.
Terpenting, KY kata Binziad berprinsip bahwa transparan atau yudisial kontrol disamping perlindungan terhadap independensi hakim itu juga sangat penting dan berjalan beriringan.
Baca juga: Respons Kadispenad Soal Prajurit TNI Jaga Gedung MA
"Saya rasa mungkin dengan dasar atau pertimbangan tersebut berbagai langkah atau kebijakan coba diambil oleh pimpinan Pengadilan termasuk dalam hal ini pimpinan MA," tukasnya.
Sebelumnya, Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Darat (Kadispenad) Brigjen TNI Hamim Tohari menanggapi terkait personel TNI yang menjaga Gedung Mahkamah Agung (MA).
Merujuk penjelasan Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro, Hamim mengatakan personel TNI tersebut berasal dari Pengadilan Militer.
"Saya rasa penjelasan juru bicara MA sudah cukup jelas, itu dari Pengadilan Militer," kata Hamim ketika dihubungi Tribunnews.com pada Kamis (10/11/2022).
"MA kan punya 4 pilar yaitu pengadilan umum, pengadilan tata usaha, pengadilan agama dan pengadilan militer," sambung dia.
Diberitakan, Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro membenarkan bahwa saat ini Gedung MA dijaga prajurit TNI yang diambil dari Pengadilan Militer.
Menurut Andi, tindakan ini diambil setelah dilakukan evaluasi terkait pengamanan di Gedung MA.
Mereka menilai, pengamanan yang sejauh ini diterapkan belum memadai.
Andi mengklaim pengerahan aparat militer menjaga Gedung MA untuk memastikan pihak-pihak yang masuk wilayah MA memang layak.
Selain itu, dan mencegah peristiwa yang tidak diinginkan.
“Sudah lama dipikirkan sebab aspek keamanan bagi kami di MA penting bukan untuk menakut-nakuti,” kata Andi saat dihubungi awak media, Rabu (9/11/2022).
Respons LSM
Imparsial turut menyoroti soal penempatan anggota TNI untuk menjaga Gedung Mahkamah Agung (MA). Mereka menilai penjagaan oleh TNI di Gedung MA dapat mengganggu profesionalitas TNI.
Kebijakan itu juga menurut peneliti Imparsial, Al Araf bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang (UU) tentang TNI.
"Kebijakan MA untuk melibatkan prajurit TNI sebagai satuan pengamanan di lingkungan MA bertentangan dengan UU TNI dan mengganggu profesionalitas TNI," kata Al Araf dalam keterangan tertulisnya kepada awak media, Jumat (11/11/2022).
Pihaknya menilai, dengan ditempatkannya anggota TNI tersebut maka telah menarik jauh TNI ke dalam tugas-tugas sipil di luar tugas pokok dan fungsinya.
Sebab, dalam tugas pokok dan fungsi TNI sebagaimana telah diatur dalam Pasal 6 dan 7 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI tidak ada aturan soal menjaga peran dan fungsi pejabat MA termasuk para hakim.
Lebih lanjut kata dia, jika pelibatan prajurit TNI sebagai satuan pengamanan di lingkungan MA dijalankan dalam rangka tugas pokok terkait operasi militer selain perang, seharusnya hal tersebut didasarkan pada keputusan politik negara pada Pasal 7 ayat 3 UU TNI, bukan keputusan MA.
"Yang dimaksud dengan keputusan politik negara adalah kebijakan politik pemerintah bersama-sama dengan DPR yang dirumuskan melalui mekanisme hubungan kerja antara pemerintah dan DPR atau pada penjelasan Pasal 5 UU TNI," ujar Al Araf.
Tak hanya itu, kata dia, penggunaan personel TNI sebagai satuan pengamanan (satpam) hanya sebagai upaya untuk memberikan kesan gagah terhadap MA yang selama ini lemah dan gagal dalam mereformasi institusinya.
Padahal di sisi lain ada kekhawatiran disalahgunakannya pelibatan prajurit TNI dalam tugas tersebut.
Dirinya juga menilai kalau nantinya personel TNI akan dipandang untuk membentengi MA dari aparat penegak hukum lain, seperti Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Hal itu merujuk pada kasus belum lama ini yang menjerat hakim agung MA dalam kasus korupsi yang kini ditangani KPK.
"Perlu diingat bahwa kebijakan pengamanan MA oleh TNI tidak lama berselang setelah adanya operasi tangkap tangan terhadap salah satu hakim MA," tukas Al Araf.