Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari, menyoroti pernyataan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Bambang Soesatyo (Bamsoet) terkait peluang penundaan penyelenggaran Pemilu 2024.
Bamsoet mengusulkan perpanjangan masa jabatan presiden dengan menunda pemilu.
Alasannya, potensi tensi suhu politik yang tinggi dapat memicu polarisasi ekstrem di masyarakat.
Selain itu, pemulihan pasca-pandemi Covid-19 yang belum rampung serta tantangan krisis ekonomi global dan potensi bencana alam yang melanda Indonesia.
Merespons pernyataan Bamsoet, pada awalnya Qodari setuju dengan beberapa alasan potensi bahaya Pemilu 2024.
Namun, ia tidak setuju dengan usulan penundaan pemilu.
Baca juga: Elite Politik Diminta Tak Lagi Bicara Wacana Penundaan Pemilu dan Perpanjangan Masa Jabat Presiden
Bagi Qodari, untuk memitigasi potensi buruk itu terjadi, yang diperlukan adalah tindakan khusus, tanpa harus menunda pelaksanaan Pemilu 2024.
Yakni dengan mengizinkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) maju di Pilpres 2024 sebagai calon tunggal.
“Saya sepakat mengenai soal potensi masalah 2024 yang jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan sebelum-sebelumnya dan karena itu membutuhkan suatu tindakan khusus berupa upaya melahirkan satu pasangan calon berhadapan dengan kotak kosong,” kata Qodari kepada wartawan, Jumat (9/12/2022).
Qodari yang juga deklarator Jokowi-Prabowo 2024 itu menuturkan, majunya Jokowi pada pilpres mendatang harus didampingi Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto melawan kotak kosong, sehingga tidak terjadi polarisasi ekstrem di tengah masyarakat.
Baca juga: Demokrat soal Isu Dana Minyak Goreng untuk Penundaan Pemilu: Jika Benar, Ini Kejahatan Luar Biasa
“Paslon tunggal itu menurut saya hanya bisa tercapai kalau calonnya Jokowi lagi berpasangan dengan Prabowo,” ucapnya.
“Kenapa Jokowi, karena Jokowi lah titik temu dari semua tokoh politik dan partai politik pada hari ini, setidaknya tercermin dalam survei Poltracking, 73 persen masyarakat puas dengan kinerja Jokowi. Kalau bukan Jokowi rasanya sulit untuk bisa melahirkan paslon tunggal,” imbuh Qodari.
Lanjut Qodari, agar Jokowi dapat maju lagi, maka ia mendorong MPR yang dikomandoi Bamsoet perlu melakukan amandemen Pasal 7 UUD 1945 tentang masa jabatan presiden dan wakil presiden.
“Kalau saya solusinya adalah Jokowi itu boleh maju untuk periode ketiga dan itu artinya amandemen. Menurut saya itu solusi yang lebih fleksibel,” ujarnya.
Qodari mengatakan, untuk memimpin sebuah negara sebesar Indonesia, maka perlu diberikan kesempatan yang lebih panjang agar mampu menciptakan perubahan besar.
Baca juga: PKPU Tahapan Belum Diketok, Perludem Sebut Wacana Penundaan Pemilu Masih Bisa Digulirkan
Apalagi, Indonesia diramalkan akan menjadi negara maju dengan pertumbuhan ekonomi 4 besar dunia.
“Jadi untuk melakukan perubahan-perubahan yang sangat besar, yang signifikan sesungguhnya kita tidak cukup 5 kali 2 tahun, artinya 10 tahun. Kita membutuhkan waktu yang lebih panjang,” ujarnya.
Qodari membandingkan jabatan seorang presiden yang mengatur negara masih kalah periode masa jabatannya dengan seorang kepala desa yang skalanya jauh lebih kecil.
“Berbicara waktu yang lebih panjang sesungguhnya kita sebagai negara, kita ini sistem politiknya terbolak-balik, kenapa saya sebut bolak-balik, karena kepala desa yang notabe memimpin unit terkecil di pemerintahan sangat kecil itu, masa jabatan kepala desa sudah 3 kali dan setiap satu masa jabatan 6 tahun,” terang Qodari.
Untuk itu, Qodari berpendapat seorang presiden harus diberikan kesempatan waktu menjabat lebih lama. Pasalnya, untuk melakukan perubahan dan meletakan pondasi pembangunan ke depan membutuhkan waktu yang relatif panjang.
“Jadi hemat saya sih paralel bahwa masa jabatan presiden itu 3 kali 6 tahun, jadi 18 tahun. Nah itu baru kemudian kalau memang presiden itu bagus dan kalau bagus pasti diapresiasi rakyat. Maka kemudian punya waktu yang relatif panjang untuk melakukan perubahan dan meletakkan pondasi dan langkah-langkah yang besar untuk melakukan perubahan Indonesia menjadi negara maju,” ucapnya.
Lebih jauh Qodari menjabarkan, penyelenggaraan pemilu harus dilakukan karena menyangkut legitimasi seorang kepala negara yang didapatkan dari rakyat melalui proses pemilu.
“Pertama, tidak menunda pemilu karena legitimasi pemerintahan pada hari ini memang sudah habis pada bulan Oktober tahun 2024 dan legitimasi itu hanya bisa diperbaharui dengan cara pemilihan kembali, pemilu lagi. Karena legitimasi itu berasal dari rakyat dan hanya bisa diberikan kembali oleh rakyat,” ujarnya.
Selain itu, lanjut Qodari, di luar persoalan Pilpres 2024 juga yang masih membara yaitu terkait dengan polarisasi yang diprediksi lebih ekstrem daripada pemilu sebelum-sebelumnya.
“Kedua, menurut saya sebetulnya di luar persoalan unik Pilpres 2024 yang merupakan eskalasi konflik polarisasi ekstrem polarisasi identitas yang terjadi mulai 2014 sampai Pilkada DKI Jakarta 2017 sampai dengan Pilpres 2019. Sesungguhnya memang wajar dan pantas untuk dipikirkan kembali setelah seperempat abad reformasi kita,” tandasnya.