Laporan Wartawan Tribunnews.com, Abdi Ryanda Shakti
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perbedaan sikap antara Mabes Polri dengan Polda Jawa Timur soal status tersangka eks Dirut PT. LIB, Akhmad Hadian Lukita dalam tragedi Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur menjadi sorotan.
Terkait itu, Polri dinilai tidak konsisten soal status tersangka dan dianggap belum yakin dengan pasal persangkaan yang ditujukan ke Hadian.
"Pernyataan yang berubah-berubah itu menunjukan bahwa kepolisian belum yakin pada pasal-pasal untuk mentersangkakan Direktur LIB," kata Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto saat dihubungi Tribunnews.com, Kamis (22/12/2022).
Bambang menilai soal penetapan status tersangka terhadap Hadian sejak awal hanya untuk meredam tekanan dari masyarakat.
"Sejak awal memang penetapan Direktur LIB sebagai tersangka itu sudah bias dan janggal, sekedar dipaksakan untuk meredam desakan publik," ucapnya.
"Tanpa ada penetapan siapa pelaku di lapangan terlebih dulu, tentunya akan sulit untuk menjerat siapa-siapa yang harus bertanggung jawab dalam Tragedi Kanjuruhan," sambungnya.
Baca juga: Polri Sebut Eks Dirut PT LIB Tak Lagi Berstatus Tersangka Kasus Kanjuruhan dan Segera Keluar Rutan
Jika memang dicabut status tersangkanya, Bambang menilai harus melewati mekanisme yang ada yakni Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
SP3 pun kata Bambang, ada tiga syarat untuk memenuhinya.
Pertama adalah tidak cukup bukti, kedua yakni peristiwa tersebut bukan tindak pidana dan ketiga demi hukum.
"Dalam menganulir alat bukti yang dipergunakan dalam penetapan tersangka, tentu saja bisa ditafsirkan bahwa tindakan penyidik tidak hati-hati dalam menilai alat bukti yang dipergunakan dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka. Atau bisa juga ditafsirkan sebagai tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh penyidik," ucapnya.
Di sisi lain SP3 dalam konteks tidak cukup bukti, lanjut Bambang, dapat juga dikatakan sebagai tindak korektif yang dilakukan penyidik atas penetapan tersangka pada diri seseorang.
Tindakan korektif ini harusnya secepatnya dilakukan agar hak-hak tersangka tidak dirugikan.
"Jika tindakan korektif tidak segera dilakukan, sangat mungkin terjadi tersangka mengajukan permohonan praperadilan karena tidak cukupnya alat bukti dalam menetapkan tersangka," ucapnya.