TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sistem pemungutan suara Pemilu 2024 tengah digugat sejumlah politisi dengan mengajukan uji materi terhadap UU No. 7 Tahun 2019 atau UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi. Mereka meminta MK untuk membatalkan Pasal 168 Ayat 2 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945.
Menurut Nusron Wahid, politisi Golkar, gugatan ini menjadi absurd. Pasalnya sebagai orang awam, ia mengaku tidak benar-benar memahami tata cara pengadilan Judicial Review (JR) suatu undang-undang di MK.
“Tata cara JR di MK itu seperti apa? Apakah sebuah pasal yang pernah digugat dan diputuskan oleh MK pada tahun 2008 lalu, bisa digugat lagi di lain waktu. Bagi saya itu adalah keputusan lembaga MK, bukan lagi keputusan hakim,” kata Nusron.
Menurutnya, setelah diputus dan disahkan oleh MK, maka hal itu menjadi keputusan yang mengikat dan final. Meski dalam pengambilan keputusan dilakukan oleh hakim-hakim, Nusron berpendapat jika keputusan mereka adalah keputusan MK sebagai sebuah lembaga hukum.
“Jika sebuah pasal yang sudah pernah digugat, disidangkan, dan diputuskan oleh MK itu di kemudian hari bisa digugat lagi oleh pihak tertentu, maka akan menjadi pembenaran bagi banyak pihak yang tidak setuju dengan keputusan MK terdahulu untuk menggugatnya lagi di kemudian hari,” ujar Nusron.
Bagi Nusron, gugatan yang diajukan politisi terhadap sistem pemilu terbuka di Pemilu 2024 agar kembali pada sistem tertutup tidak seharusnya diterima oleh MK. Jika ini tetap diterima, bahkan disidangkan, maka bisa mempengaruhi kredibilitas dan kualitas MK sendiri.
“Seharusnya ini ditolak. Gugatan ke MK ini bukan gugatan kasus perdata dan pidana. Bukan seperti keputusan Mahkamah Agung, jika ada novum atau bukti baru keputusan bisa berubah. Ini adalah gugatan terhadap undang-undang yang sama,” ungkap politisi Golkar ini.
Dalam istilah hukum, ini termasuk Ne Bis In Idem, yakni perkara dengan obyek, para pihak dan materi pokok perkara yang sama, diputus oleh pengadilan dan telah berkekuatan hukum tetap baik mengabulkan atau menolak, tidak dapat diperiksa kembali untuk kedua kalinya.
“Jadi secara harfiah bahwa seseorang tidak boleh dituntut atau digugat untuk hal yang sama,” ungkap Nusron. Secara filosofis ini kemudian ditarik sebagai sebuah asas hukum bahwa negara harus menghormati proses dan hasil pengadilan sebelumnya. “Hal ini untuk menjaga kepastian hukum,” tambah Nusron.
Menurut Nusron, ini penghormatan atas res judicata atau finalitas suatu putusan, supaya negara memiliki legitimasi. Masalah ini sudah diadopsi dalam UU MK Pasal 69 ayat 1 dan 2.
Dalam UU MK disebutkan Pasal 60 (1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.
Menurut Nusron, jika ingin ada perubahan terhadap sistem pemilu atau UU Pemilu bisa dilakukan Legislative Review (LR).
“Ini tempatnya di DPR bukan di MK, jadi kalau mau dibawa saja ke DPR soal keinginan mengubah pasal tersebut,” ucap anggota Fraksi Partai Golkar ini.
Oleh karena itu, Nusron mengingatkan agar MK tidak menerima gugatan yang diajukan oleh sejumlah politisi terhadap sistem pemilihan terbuka yang berlaku di Pemilu 2024 nanti.(*)