TRIBUNNEWS.COM - Kondisi penegakan hukum (law enforcement) di Indonesia saat ini sedang mengalami krisis.
Fenomena ini terjadi lantaran oknum aparat penegak hukum yang merupakan elemen penting dalam proses penegakan hukum justru terlibat kasus pidana.
Seperti diketahui, belakangan ini penetapan tersangka dua hakim agung atas dugaan pengurusan suap perkara di Mahkamah Agung (MA) menjadi sorotan publik.
Hakim agung yang seharusnya menjadi teladan bagi hakim-hakim di bawahnya justru mencoreng penegakan hukum di Indonesia.
Merespons hal tersebut, mantan Ketua Komisi Yudisial (KY), Aidul Fitriciada Azhari pun menilai perlu adanya reformasi sistem peradilan pidana di Indonesia.
MA merupakan pengadilan negara tertinggi dari semua lingkungan peradilan yang berada di bawahnya.
Baca juga: KY Bakal Segera Periksa Hakim Agung Sudrajat Dimyati Terkait Kasus Suap Perkara di MA
Oleh karena itu, MA melakukan pengawasan tertinggi terhadap empat badan peradilan.
Yakni badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara.
"Terkait sistem hukum, sistem peradilan. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya."
"Jadi Mahkamah Agung dan di bawahnya terdiri dari empat badan peradilan, di sisi lain ada Mahakamah Konstitusi dan tidak punya bawahan," kata Aidul dalam seminar nasional bertajuk 'Reformasi Sistem Peradilan Pidana Indonesia' di Universitas Slamet Riyadi, Surakarta, Jawa Tengah, Jumat (30/12/2022).
Ia menilai, struktur tersebut justru memberatkan posisi MA.
"Struktur seperti ini membuat Mahkamah Agung berat sekali bebannya," tuturnya.
Dengan membawahi empat badan peradilan, Aidul mengatakan, MA setidaknya harus mengontrol 800 pengadilan, 9.000 lebih hakim hingga 12.000 panitera.
"MA itu dia harus membawahi hampir 800 pengadilan, 9.000 lebih hakim, hampir 12.000 panitera, berat sekali," kata Aidul.