TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rencana perbedaan tarif Kereta Rel Listrik (KRL) bagi masyarakat kaya dan miskin merupakan diskriminasi.
Anggota Komisi V DPR RI, Suryadi Jaya Purnama mengkritik rencana kebijakan Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi soal perbedaan tarif KRL bagi masyarakat kaya dan miskin.
Rencana kebijakan tersebut akan membuat orang kaya kembali menggunakan kendaraan pribadi dan menimbulkan kemacetan.
"Saya menganggap bahwa adanya diskriminasi tersebut justru akan membuat orang-orang kaya akan kembali menggunakan kendaraan pribadi dan malah berpotensi menyebabkan kemacetan," kata Suryadi dalam keterangannya, Jumat (30/12/2022).
Suryadi menekankan bahwa transportasi massal atau umum diperuntukkan bagi semua kalangan baik orang miskin maupun kaya.
"Kita ingatkan bahwa transportasi massal ditujukan untuk semua kalangan, baik itu orang yang kaya maupun tidak," ujarnya.
Ia menjelaskan KRL bermanfaat memberikan bantuan transportasi kepada masyarakat yang tidak mampu.
"Di sisi lain membantu mengurangi kemacetan jika orang-orang yang mampu beralih dari moda kendaraan pribadi ke moda transportasi massal seperti KRL," ucap Suryadi.
Karenanya, ia menegaskan dirinya menolak rencana kebijakan penggolongan orang kaya dan miskin tersebut
"Oleh sebab itu kami menolak kebijakan yang diskriminatif tersebut," ungkap dia.
Suryadi mengaku dirinya juga sempat menyatakan penolakan rencana kenaikan tarif KRL.
"Kita menilai secara teknis KRL Commuter Line masih mengalami overload di jam-jam sibuk. Sehingga pengguna KRL belum bisa merasakan kenyamanan sepenuhnya," jelasnya.
Sementara dari sisi keuangan, kata dia, Kemenhub menggelontorkan Rp 3,2 triliun lebih untuk mensubsidi pengguna kereta api pada tahun 2022.
"Dan untuk tahun 2023, kita minta subsidi untuk transportasi massal seperti KRL sebaiknya diperbesar agar semakin banyak orang yang meninggalkan kendaraan pribadi dan berpindah ke transportasi massal," imbuh Suryadi.