TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Jokowi didesak mencabut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja karena disebut pengamat bertentangan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi dan merusak praktik ketatanegaraan yang baik.
Adapun sejumlah organisasi serikat buruh mengancam bakal menggugat peraturan anyar tersebut ke MK lantaran pasal-pasal dalam klaster ketenagakerjaan dinilai masih merugikan posisi pekerja.
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) misalnya, menyebut sebagian besar pasal dalam klaster ketenagakerjaan di Perppu Cipta Kerja tak ada bedanya dengan UU Omnibus Law.
Presiden KSPI, Said Iqbal mengatakan, dalam kedua aturan tersebut, posisi buruh tetap lemah meskipun ada perubahan isi pasal.
Berikut sejumlah aturan yang dianggap merugikan kalangan pekerja:
Upah minimum kabupaten/kota tidak jelas, upah sektoral dihilangkan
Aturan soal upah tercantum di pasal 88C hingga pasal 88F Perppu Cipta Kerja.
Namun, ketentuan yang mengatur upah sektoral dihilangkan, sementara upah minimum kabupaten/kota menjadi tidak jelas.
Sebab di pasal 88C ayat 2 menyebutkan, "Gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota".
Frasa "dapat", menurut Said Iqbal, dalam bahasa hukum artinya "bisa ada atau bisa tidak" tergantung keputusan gubernur yang sedang menjabat.
Baca juga: Kritik Pembuat Perppu Cipta Kerja Soal Aturan Libur 1 Hari, Partai Buruh: Jangan Salahkan Presiden
KSPI, kata dia, tetap mengusulkan sedari awal agar gubernur wajib menetapkan upah minimum kabupaten/kota sama halnya dengan penetapan upah minimum provinsi.
Persoalan lain yang masih terkait upah ada di pasal 88D ayat 2 yang isinya, "Formula penghitungan upah minimum mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu".
Bagi KSPI, dalam sejarah penghitungan upah di dunia tidak dikenal istilah "indeks tertentu".
"Penentuan upah itu biasanya survei 60 item Kebutuhan Hidup Layak (KLH) atau inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi," jelas Said Iqbal dalam konferensi pers virtual di Jakarta, Minggu (1/1/2023).
"Sedangkan indeks tertentu itu siapa yang menentukan?" sambungnya.
Yang kian membahayakan, menurut KSPI, formula penghitungan upah minimum ini rupanya bisa berubah kapan saja seperti yang dimuat di pasal 88F: "Dalam keadaan tertentu pemerintah dapat menetapkan formula penghitungan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam pasal 88D ayat 2.
"UU itu seharusnya rigid, tidak boleh ada pengecualian. Ini jadi seenaknya saja. Perppu memberikan mandat kosong ke pemerintah bisa mengubah-ubah formula. Bagaimana ini?"
Said Iqbal menduga, pasal 88F ini ditujukan untuk melindungi beberapa perusahaan yang tidak mampu membayar kenaikan upah akibat krisis keuangan setelah dilanda pandemi Covid-19.
Tapi karena tidak spesifik menyebutkan frasa "perusahaan yang merugi" bisa dipakai untuk mengatasnamakan seluruh perusahaan. Padahal tak semua terkena dampak akibat Covid.
Pekerja alih daya tidak ada kriterianya
Pasal yang mengatur soal pekerja alih daya tertulis di pasal 64 sampai pasal 66.
Namun kata Said Iqbal, tidak diterangkan jenis pekerjaan apa saja yang boleh dilakukan oleh pekerja alih daya atau outsourcing.
KSPI mendesak pemerintah agar mengembalikan aturan pekerja alih daya ke Undang-Undang Ketenagakerjaan yang membatasi lima jenis pekerjaan yakni sopir, petugas kebersihan, sekuriti, katering, dan jasa migas pertambangan.
"Karena tidak disebutkan, makin enggak jelas. Itu artinya masih membebaskan semua jenis pekerjaan boleh dialih dayakan," jelas Said Iqbal.
Pekerja kontrak tak ada batas waktunya
Mengenai pekerja kontrak, KPSI mengatakan tidak ada perubahan seperti yang sebelumnya tertulis di UU Omnibus Law.
Di mana tak ada pasal yang menjelaskan batas waktunya.
Padahal kalau merujuk Undang-Undang Ketenagakerjaan, pekerja bisa dikontrak paling lama dua tahun dan diperpanjang satu tahun.
Tujuan adanya jangka waktu, kata KSPI, agar ada kepastian periode pekerjaan dan meningkatkan kesejahteraan buruh.
"Kami menolak aturan pekerja kontrak, harus ada periodenya kalau tidak akan kontrak terus."
Pesangon yang didapat akan lebih kecil
Tak ada perubahan soal pesangon di Perppu Cipta Kerja maupun UU Omnibus Law.
Di aturan teranyar ini, pemerintah menghapus frasa "paling sedikit" yang sebelumnya tertulis di UU Ketenagakerjaan.
Baca juga: Said Iqbal Jelaskan Aturan Libur Pekerja di Perppu Cipta Kerja yang Dikritisi Kelompok Buruh
Akibatnya, kata Said Iqbal, pekerja tidak bisa melakukan perundingan atas pesangon yang biasanya dapat menerima besaran dua atau tiga kali lebih besar dari ketentuan sesuai kemampuan perusahaan.
Cuti panjang tak berlaku lagi
Pada UU Ketenagakerjaan ada poin khusus yang mewajibkan perusahaan memberikan cuti besar atau istirahat panjang sekurang-kurangnya dua bulan, tapi baik di UU Omnibus Law dan Perppu Cipta Kerja ketentuan itu dihilangkan.
Pasal 79 ayat 5 Perppu Cipta Kerja menyebutkan, "Perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama."
"Kami ingin aturan itu dikembalikan ke undang-undang sebelumnya."
Libur Pekerja
Pasal 79 ayat (2)
(2) Waktu istirahat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib diberikan kepada Pekerja/Buruh paling sedikit meliputi:
a. istirahat antara jam kerja, paling sedikit setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus-menerus, dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja; dan
b. istirahat mingguan I (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
Aturan tersebut menandakan hak libur pekerja yang sebelumnya mengatur dua hari dalam seminggu dihapus, sebagaimana tertera dalam Pasal 79 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Meski begitu, Perppu Cipta Kerja tetap memungkinkan pekerja mendapat libur dua hari, sebagaimana tertera dalam Pasal 77 mengenai waktu kerja, yakni 7 jam atau 8 jam sehari.
Akan tetapi, tak ada penjelasan lebih lanjut soal sektor usaha yang dimaksud, hanya menyebut bahwa hal ini akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 77 ayat (2)
(2) Waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi;
(a) tujuh jam satu hari dan 40 jam satu minggu untuk 6 hari kerja dalam satu minggu, atau
(b) delapan jam satu hari dan 40 jam satu minggu untuk 5 hari kerja dalam satu minggu," demikian bunyi Pasal 77 ayat (2).
Aturan tersebut memungkinkan pekerja bisa mendapat waktu libur dua hari dalam sepekan, tergantung jam kerjanya.
"Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja," tulis Pasal 77 ayat (1)."
Selanjutnya, Pasal 77 ayat (3) menjelaskan ketentuan waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.
Akan tetapi, tak ada penjelasan lebih lanjut soal sektor usaha yang dimaksud, hanya menyebut bahwa hal ini akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi
Said Iqbal mengatakan sejumlah organisasi buruh sedang mempertimbangkan untuk mengambil langkah hukum berupa gugatan uji materi ke Mahkamah Konstitusi jika langkah-langkah aksi demontrasi dan lobi ke pemerintah gagal.
Mereka, tuturnya, masih berharap pemerintah memasukkan usulan-usulan buruh dalam peraturan turunan yakni PP.
"Intinya KSPI dan kelompok buruh menolak isi Perppu yang masih jauh dari harapan dan agar bisa diubah sesuai hasil pembicaraan antara KSPI dan Kadin beberapa waktu lalu."
Sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto selaku Ketua Komite Cipta Kerja, menyebut Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja lahir karena kebutuhan yang mendesak.
Airlangga menjelaskan, tantangan geopolitik akibat konflik Ukraina dan Rusia serta konflik lainnya yang masih terjadi menyebabkan berbagai negara menghadapi krisis pangan, energi, keuangan, dan perubahan iklim sangat nyata.
Bahkan beberapa negara sedang berkembang tengah meminta bantuan pendanaan kepada International Monetary Fund (IMF) untuk menghadapi tekanan global saat ini, sambung Airlangga.
Pakar Hukum Sebut Tindakan Inkonstitusional
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Padang Feri Amsari menilai pemerintah melalui tindakan inkonstitusional, yakni menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) tentang Cipta Kerja.
Sebab sebelumnya mahkamah konstitusi (MK) sudah menyatakan bahwa undang-undang (UU) Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dan diminta melakukan perbaikan selama dua tahun.
"Jadi ini memang upaya melanggar putusan MK. Jelas ini tindakan inkonstitusional," kata Feri kepada Tribunnews.com, Senin (2/1/2023).
Feri lalu mempersoalkan ketika pemerintah mempersilakan pihak yang menolak Perppu tersebut menggugat ke MK.
"Kenapa? Karena MK sudah dirombak orang yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat sudah diberhentikan secara mendadak dan tiba-tiba. Jadi ini menurut saya tidak sehat," ujarnya.
Menurutnya dalam Pasal 22 ayat UUD disebutkan sarat sebuah Perppu diterbitkan apabila ada kegentingan memaksa.
Feri menjelaskan keadaan kegentingan memaksa syaratnya ada tiga berdasarkan putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009.
"Satu ada masalah hukum yang butuh ditangani sesegera mungkin yang mendesak untuk diselesaikan," ucap Feri.
Kedua, ada hukum tetapi tidak menyelesaikan masalah atau kekosongan hukum. Ketiga, butuh proses yang cepat untuk menghasilkan produk hukum.
"Tiga hal itu tidak menggambarkan Perppu Cipta Kerja, karena dalam putusan MK 91 UU Cipta Kerja itu harus diperbaiki dalam dua tahun," ungkap Feri.
Feri menegaskan rentang waktu dua tahun tersebut membuktikan jika penerbitan Perppu bukan hal yang mendesak.
"Jadi alasan bahwa Perppu ini lahir karena desakan ekonomi global, perang Rusia-Ukraina tidak cukup memadai untuk dikatakan sebagai hal ihwal kegentingan memaksa berdasarkan putusan MK," jelas dia.
Karenanya, ia menganggap Perppu ini diterbitkan terkesan dipaksakan agar UU Cipta Kerja bisa berlaku, terutama waktu perbaikannya sudah sangat dekat.