Laporan Wartawan Tribunnews.com, Abdi Ryanda Shakti
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Polri masih berupaya memulangkan tersangka kasus dugaan penistaan agama, Saifuddin Ibrahim dari Amerika Serikat.
Sejauh ini, Divisi Hubungan Internasional Polri sudah membuat red notice dan berkoordinasi dengan pihak otoritas di Amerika Serikat.
"Bareskrim telah membuat red notice sudah menetapkan sebagai tersangka dan pihak Interpol Indonesia atau Divisi Hubinter Polri telah berkoordinasi dengan pihak otoritas di Amerika Serikat," ujar Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan kepada wartawan, Selasa (10/1/2023).
Baca juga: Rekam Jejak Saifuddin Ibrahim: dari Pendeta, Tersangka Penistaan Agama, hingga Jadi Pemulung di AS
Ramadhan mengakui adanya kendala dalam proses pemulangan Saifuddin ke Indonesia.
Adanya perbedaan sistem penegakan hukum antara Indonesia dengan Amerika Serikat yang menjadi salah satu kesulitan pemulangan tersangka.
"Tentu ada kendala salah satu kendalanya adalah sistem yang ada di Amerika dan di Indonesia itu berbeda," ungkapnya.
Ramadhan melanjutkan pihaknya berharap bisa memulangkan Saifuddin Ibrahim dalam waktu dekat ini.
"Tentu yang telah kita lakukan adalah sinkronisasi termasuk, sinkronisasi hukum antara otoritas Amerika dan Indonesia. Nanti proses ini masih berjalan, nanti akan kita sampaikan," tuturnya.
Diketahui, nama Pendeta Saifuddin Ibrahim menjadi sorotan setelah viral meminta 300 ayat Alquran dihapus.
Baca juga: Tersangka Penistaan Agama Saifuddin Ibrahim Disorot Karena Jadi Pemulung di AS, Ini Kata Polri
Atas tindakannya tersebur, Saifuddin ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan penistaan agama dengan terancam hukuman pidana 6 tahun penjara.
"Pidana penjara paling lama 6 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar," ujar Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan di Mabes Polri, Jakarta Selatan pada Rabu (30/3/2022).
Ramadhan menjelaskan bahwa SI dijerat dengan pasal 45A ayat (1) Jo Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Ia menyatakan bahwa pasal tersebut terkait dengan dugaan tindak pidana penistaan agama dan ujaran kebencian berdasarkan SARA. Selain itu, pasal itu berkaitan dengan dugaan penyebaran berita bohong alias hoax.