TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ibu dari mahasiswa Atma Jaya Jakarta, korban Tragedi Semanggi I pada 13 November 1998 BR Norma Irmawan, Maria Catarina Sumarsih mengkritik pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) atas nama negara yang mengaku kasus- kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Pernyataan Presiden tersebut, menurutnya hanya sebatas pencitraan seolah-olah telah melunasi janji Pemilu.
Baca juga: Komisi III DPR: Selain Akui 12 Peristiwa Pelanggaran HAM Berat, Negara Wajib Memenuhi Hak Korban
"Tetapi kenyataannya Presiden Jokowi adalah seorang pelindung para terduga pelaku pelanggar HAM berat," kata Sumarsih ketika dihubungi Tribun.com Rabu (11/1/2023).
Pelanggaran HAM berat masa lalu, kata dia, tidak perlu disesali tetapi harus dipertanggungjawabkan di Pengadilan HAM ad hoc sesuai mekanisme yang diatur di dalam UU Nomor 26/2000 tentang Pengadilan HAM.
Adapun mekanismenya, lanjut dia, adalah Komnas HAM melakukan penyelidikan dan Jaksa Agung menidaklanjuti berkas penyelidikan Komnas HAM ke tingkat penyidikan.
Bila terbukti terjadi adanya pelanggaran HAM berat, lanjut dia, maka DPR RI membuat rekomendasi kepada Presiden untuk menerbitkan Keppres Pembentukan Pengadilan
HAM ad hoc.
"Untuk itu, bila pemerintah mempunyai keberanian membentuk Pengadilan HAM ad hoc Semanggi I, Semanggi II dan Trisakti, maka Presiden harus berani memerintahkan kepada Jaksa Agung untuk mengangkat penyidik ad hoc sebagaimana diatur di dalam UU Pengadilan HAM pasal 21 ayat (3)," kata dia.
Permintaan maaf Presiden atas nama negara, menurutnya tidak diperlukan.
Baca juga: Negara Akui Pelanggaran HAM Berat, KontraS: Idealnya Diikuti Komitmen Pemulihan dan Rasa Keadilan
Hal yang penting, kata dia, adalah membuat jera para pelaku dengan mengadili mereka di pengadilan agar tidak terjadi keberulangan pelanggaran HAM berat atau kekerasan aparat TNI ataupun Polri di masa depan.
"Apa artinya minta maaf bila kenyataannya setelah terjadi tragedi Semanggi I kemudian terjadi tragedi Semanggi II, Wasior, Wamena, pembunuhan Munir, Paniai dan seterusnya hingga kekerasan TNI/Polri di Kanjuruhan, Malang," kata Sumarsih.
Seharusnya, lanjut dia, tidak ada kesulitan untuk menyelesaikan Tragedi Semanggi I dan Semanggi II di Pengadilan HAM ad hoc.
Sebab, kata dia, sejumlah nama prajurit dan perwira tinggi TNI dan Polri harus dihadapkan pada proses hukum berdasarka otoritas dan peranannya masing-masing dalam rentang tanggung jawab komando (command respossibility).
Baca juga: 9 Poin Sikap Komnas HAM atas Pengakuan Negara Terhadap Peristiwa Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu
Hal tersebut, kata dia, tertuang dalam rekomendasi pada pernyataan pers Komisi Penyelidikan Pelanggaran (KPP) HAM Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II tertanggal 21 Maret 2002, pada alinea ke-4.
KPP HAM, kata dia, dibentuk oleh Komnas HAM.
"Saya berharap Presiden Jokowi tidak ingkar janji untuk menyelesaikan kasus Semanggi I dan Semanggi II secara berkeadilan," kata Sumarsih.
"Janji itu tetuang di dalam Nawacita pada butir (ff.) bekomitmen untuk menyelesaikan kasus Semanggi I - Semanggi II – Trisakti dan pada butir (gg.) berkomitmen untuk menghapus impunitas," sambung dia.
Ia pun mengungkit bahwa pada pemilu tahun 2014 keluarga korban pelanggaran HAM berat terutama yang mengikuti Aksi Kamisan telah turut berkampanye memilih Jokowi.
Baca juga: Jokowi Akui 12 Pelanggaran HAM Berat: Peristiwa 1965-1966 hingga Tragedi Trisakti dan Semanggi
Hal tersebut, kata dia, karena Nawacita memberikan pengharapan yang sangat
besar.
"Pemulihan yang diberikan (kepada) korban sesuai bunyi Keppres 17/2022 (tentang pembentukan Tim Pelaksana Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu atau PPHAM) itu tidak bijaksana, justru jauh dari nilai- nilai kemanusiaan sebab nyawa manusia akan dipulihkan dengan pemberian materi berupa bantuan social, jaminan kesehatan, bea siswa, dan lain-lain," kata Sumarsih.
"Sementara itu janji pemilu 2014 yang tertuang di dalam Nawacita, Pak Jokowi berjanji/berkomitmen untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu secara berkeadilan dan juga berkomitmen untuk menghapus impunitas," sambung dia.
Menurutnya kesungguhan pemerintah agar pelanggaran HAM yang berat tidak akan terjadi lagi di Indonesia pada masa yang akan datang sangat diragukan. Hal tersebut, kata dia, sebab tidak ada penjeraan kepada para pelaku.
Gagalnya pengadilan HAM ad hoc Timor Timur, pengadilan HAM ad hoc Tanjung Priok, pengadilan HAM Abepura, dan pengadilan Paniai, menurutnya karena adanya rekayasa penghilangan barang bukti yang dilakukan oleh orang-orang yang terlibat dalam perkara kekerasan aparat.
Baca juga: Peristiwa Petrus hingga Tragedi 1998, Inilah 12 Kejadian yang Diakui Sebagai Pelanggaran HAM Berat
"Kita bisa bercermin dalam rekayasa Ferdy Sambo terhadap pembunuhan Yosua. Tidak tertutup kemungkinan rekayasa penghilangan barang bukti juga dilakukan oleh para terduga pelanggar HAM berat yang kini semakin banyak menduduki jabatan stategis di pemerintahan," sambung dia.
Wakil Koordinator Kontras Rivanlee Anandar mengatakan hal tersebut harusnya perlu diikuti komitmen pemulihan dan rasa keadilan bagi korban.
Menurutnya pengakuan terhadap kasus pelanggaran HAM berat masa lalu melalui permintaan maaf Presiden sebagai perwakilan negara atas adanya kejahatan kemanusiaan bukanlah hal baru.
Sejak tahun 1999, kata dia, Komnas HAM sudah menyampaikan rekomendasi demikian kepada pemangku jabatan Presiden saat itu. Tentu saja, lanjut dia, pengakuan dan permintaan maaf kepada korban pelanggaran HAM berat masa lalu tidak dapat berdiri sendiri.
Pengakuan dan permintaan maaf tersebut, lanjut dia, harus ditindaklanjuti dengan rangkaian tindakan untuk memberikan hak-hak korban secara keseluruhan.
Baca juga: Presiden Jokowi Sesalkan Terjadinya 12 Pelanggaran HAM Berat di Tanah Air, Berikut Daftarnya
Sebaliknya, kata dia, tanpa ada pengakuan Negara atas adanya pelanggaran berat HAM maka
pemberian pemulihan bagi korban malah bersifat kontraproduktif dari upaya pemberian hak-hak korban.
Pemulihan, kata dia, hanya dimaknai sebagai bantuan sosial atau kemiskinan.
"Idealnya, diikuti komitmen untuk memberikan hak pemulihan dan rasa keadilan kepada korban," kata Rivanlee.
Oleh karena itu, kata dia, untuk menghindari kesalahan interpretasi, harus diingat bahwa korban dalam pelanggaran HAM berat adalah orang-orang yang telah mengalami penderitaan akibat penyalahgunaan kekuasaan (commission/omission Badan/Pejabat Pemerintahan yang melawan hukum).
"Oleh karenanya pengakuan kesalahan oleh Negara adalah fundamental dan telah direkomendasikan dua dekade lalu," sambung dia.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengakui secara resmi terjadinya berbagai peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu.
Baca juga: Sipon, Istri Wiji Thukul Wafat, Komnas HAM dan KontraS Ucapkan Duka Atas Perginya Pejuang Keadilan
Presiden mengakui adanya pelanggaran HA setelah menerima laporan akhir Tim Pelaksana Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia(HAM) yang Berat Masa Lalu (PPHAM) di Istana Kepresidenan, Jakarta kemarin.
“Saya telah membaca dengan seksama laporan dari Tim Pelaksana Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat yang dibentuk berdasarkan keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022,” katanya.
“Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus saya sebagai kepala negara Republik
Indonesia mengakui bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi
di berbagai peristiwa,” katanya.
Sebelumnya negara belum pernah mengakui adanya pelanggaran HAM berat di masa
lalu.
Presiden sangat menyesalkan terjadinya peristiwa pelanggaran HAM yang berat
tersebut. Peristiwa yang diakui sebagai pelanggaran HAM Berat diantaranya yakni:
1) Peristiwa 1965-1966,
2) Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985,
3) Peristiwa Talangsari, Lampung 1989,
4) Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989,
5) Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998,
6) Peristiwa Kerusuhan Mei 1998,
7) Peristiwa Trisakti dan Semanggi I - II 1998-1999,
8) Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999,
9) Peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999,
10) Peristiwa Wasior, Papua 2001-2002,
11) Peristiwa Wamena, Papua 2003, dan
12) Peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003.
Presiden menaruh simpati dan empati yang mendalam kepada para korban dan keluarga korban peristiwa tersebut.(Tribun Network/gta/wly)