"Dalam perspektif formil, Perppu harus ditetapkan berdasarkan kegentingan yang memaksa," kata dia.
Makna kegentingan yang memaksa, lanjut dia, memiliki tiga parameter berdasarkan Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 tanggal 8 Februari 2010.
Pertama, kata Atnike, adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang.
Kedua, lanjut dia, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau sudah ada tapi tidak memadai.
Baca juga: Menaker dan Komisi IX DPR Rapat Tertutup Soal Perppu Cipta Kerja Selama 4 Jam, Ini yang Dibahas
Ketiga, kata Atnike, kekosongan hukum tersebut tidak bisa diatasi dengan cara membuat undang-undang sesuai prosedur biasa karena akan membutuhkan waktu yang lama, sedangkan keadaan yang mendesak perlu kepastian untuk diselesaikan.
"Dalam terminologi HAM, kegentingan yang memaksa dimaknai sebagai keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa dan keberadaannya, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang nomor 12 Tahun 2005, Pasal 4 yang merupakan pengesahan ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (KIHSP)," kata dia.
Dalam keadaan darurat dimaksud, lanjut dia, negara diperkenankan untuk mengurangi kewajibannya atas pelaksanaan hak-hak sipil dan politik.
Perppu Cipta Kerja, kata Atnike, terbit atas alasan adanya kegentingan yang memaksa yaitu tantangan dan krisis ekonomi global yang mengancam perekonomian nasional berupa kenaikan harga energi dan pangan, perubahan iklim, dan terganggungnya rantai pasokan.
Namun demikian dalam perspektif HAM, kata Atnike, indikator kegentingan memaksa yang dicantumkan dalam Bagian Menimbang huruf g Perppu Cipta Kerja, tidak cukup sebagai alasan menetapkan kedaruratan yang memberikan legitimasi bagi negara dalam mengurangi kewajibannya dalam pelaksanaan HAM.
Baca juga: AHY: Partai Demokrat Tegas Menolak Perppu Cipta Kerja
Dalam hal ini, lanjut dia, secara spesifik adalah hak publik untuk berpartisipasi secara bermakna dan hak atas informasi publik.
Presiden, kata dia, berwenang menetapkan Perppu dalam kegentingan yang memaksa.
Namun, lanjut Atnike, dalam hal penetapan Perppu Cipta Kerja, telah menimbulkan persoalan baru karena menegasikan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang meminta supaya pemerintah melakukan perbaikan dalam proses penyusunan UU Cipta Kerja dengan memenuhi hak publik untuk berpartisipasi secara bermakna.
Karakteristik Perppu, kata Atnike, justru meniadakan partisipasi publik yang bermakna, karena penerbitannya menjadi kewenangan subyektif Presiden selaku kepala negara.
Pembentukan Perppu Cipta Kerja, kata dia, bertentangan dengan perintah di dalam pertimbangan putusan MK tersebut yang seharusnya ada partisipasi bermakna dalam pembahasan kembali UU Cipta Kerja yang dilakukan dalam waktu dua tahun sejak Putusan MK tersebut dibacakan.
Partisipasi publik tersebut, lanjut Atnike, terutama diperuntukkan bagi kelompok yang terdampak langsung atau memiliki perhatian terhadap UU Cipta Kerja.
Kemudian, kata dia, partisipasi tersebut meliputi hak untuk menyatakan pendapat dan sikapnya secara bebas dan tanpa paksaan (free prior and informed consent).
Baca juga: Said Iqbal Sebut Aksi 14 Januari Awal Rangkaian Demo Buruh Tolak Perppu Cipta Kerja