Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Feri Amsari berbicara mengenai godaan bagi presiden untuk Memperpanjang masa jabatannya.
Dalam sejarah Indonesia, kata dia, godaan tersebut pernah mempengaruhi Presiden Soekarno.
Ia mengatakan walaupun godaan tersebut menghampiri Soekarno dalam dalam bentuk kekhawatiran Indonesia yang saat itu baru merdeka akan pecah, pada akhirnya Soekarno menjadi sekitar 21 tahun atau empat periode lebih.
Godaan yang sama, kata dia, juga menghampiri Presiden Soeharto yang kemudian menafsirkan pasal 7 UUD 1945 ketika itu sebagai legitimasi untuk dapat dipilih kembali setelah lima tahun meskipun berkali-kali.
Singkat cerita, Soeharto menjabat sebagai presiden selama 32 tahun atau enam periode lebih.
Padahal, kata dia, perdebatan Ibu Bapak bangsa Indonesia masa jabatan presiden jelas cuma dua periode.
Hal tersebut disampaikannya dalam FGD Reformasi dan Konstitusi bertajuk "Tinjauan Ketatenegaraan Terhadap Perpanjangan Masa Jabatan Presiden dan Penundaan Pemilu" di kawasan Jakarta Selatan pada Selasa (24/1/2023).
"Tapi ya karena kekuatan politik bisa berkali-kali. Jadi dampak kekuatan politik yang mempengaruhi penambahan periodesasi dan masa jabatan itu luar biasa," kata Feri.
"Jangan bilang ini bukan ancaman. Apalagi ada pembicaraan, dorongan, strategi yang berkaitan dengan perpanjangan masa dan periode jabatan presiden," sambung dia.
Menurutnya, ada dua perdebatan yang sedang berjalan hari ini yakni terkait periode atau berapa kali presiden bisa menjabat dan kedua terkait berapa tahun presiden menjabat dalam satu periode.
Menurutnya, terdapat dua kelompok yang saat ini berbicara mengenai kedua hal tersebut.
Kelompok pertama yang mengusung terkait periode digawangi oleh Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari.
Baca juga: Masinton: Wacana Penundaan Pemilu, Penambahan Masa Jabatan Presiden Bertentangan dengan Demokrasi
Kelompok kedua, lanjut Feri, kelompok yang bicara penundaan atau berarti perpanjangan masa jabatan presiden.
"Dua ini, kelompok berbeda sedang berjalan. Seiring, setali tiga uang. Mana yang bisa jalan duluan, itu akan dipakai. Dan itu berbahaya. Karena sejarahnya, jika terjadi ini akan berlanjut," kata Feri.
"Siapa yang akan menjamin kalau berhasil tiga periode tidak akan empat periode. Karena pasti godaannya," sambung di.
Feri menegaskan kedua hal tersebut tidak mungkin dilakukan secara konstitusional.
Pertama, kata dia, karena pasal 7 dan pasal 22E UUD 1945 telah membatasi kedua hal tersebut
"Dan harus diingat dalam ilmu kepemiluan tidak ada itu istilah penundaan. Kalau nanti sempat membolak-balik UU 7/2017 istilahnya tidak ada penundaan. Yang ada pemilu lanjutan dan pemilu susulan. Apa artinya? Pemilu itu wajib dilaksanakan," kata Feri.