TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Berkaca dari Pemilu 2014 dan 2019, fenomena yang akan menguat dalam Pemilu 2024 mendatang ialah munculnya hoaks dan disinformasi.
Deputi Bidang Kesatuan Bangsa Kemenko Polhukam Djanedri M Gaffar mengatakan fenomena ini tidak sekadar akan merugikan masyarakat selaku pemilih tapi juga melahirkan pembelahan sosial yang dipenuhi dengan kebencian.
“Fenomena ini tidak sekadar akan merugikan kita semua karena mengelabui pandangan publik yang berujung pada kekeliruan pilihan pada saat Pemilu, tetapi juga dapat melahirkan pembelahan sosial yang dipenuhi kebencian,” kata Djanedri dalam Seminar Pers dan Pemilu Serentak 2024 oleh Dewan Pers di hotel kawasan Jakarta Pusat, Kamis (26/1/2023).
Tentu tak hanya fenomena yang akan berujung pada konflik sosial ini yang dikhawatirkan. Namun juga efeknya, di mana menjadi penghambat penyelenggaraan negara dan kemajuan bangsa.
Pers punya peran penting, kata Djanedri dalam membendung sekaligus menjadi jalan keluar bagi kian maraknya hoaks dan disinformasi menjelang dan selama Pemilu 2024.
“Pers sebagai institusi yang memiliki standar etik dan standar akurasi yang tinggi , serta budaya check dan recheck dapat menjadi pilihan utama untuk mengawal dan mengarahkan masyarakat pada pilihan-pilihan yang rasional dan obyektif,” ujarnya.
“Bukan pilihan yang berdasarkan pada kebencian atau ketidaksukaan pada salah satu kelompok,” Djanedri menambahkan.
Lebih lanjut, ia juga menegaskan peran pers pada sisi inilah yang amat dibutuhkan dalam penyelenggaraan Pemilu 2024 guna menghindari lebarnya pembelahan sosial seperti yang terjadi pada pemilu sebelumnya.
Pers, lanjutnya, harus menjadi referensi utama agar pilihan rakyat pada Pemilu 2024 mendatang didasari oleh pertimbangan kepentingan keutuhan, kesatuan, dan kemajuan bangsa, bukan didasari oleh sentimen pribadi atau kelompok.
Baca juga: Hadapi Pemilu 2024, Dewan Pers Ajak Media Massa Jaga Kode Etik Jurnalistik
“Karena itu, pers dituntut untuk memiliki kemampuan dan kesadaran dalam memainkan peran strategis dan sentral tersebut, misalnya selektif memilih narasumber yang kompeten dan bertanggungjawab, memilih judul dan angle berita yang konstruktif sehingga tidak larut dalam praktik dan fenomena clickbait,” tuturnya.