Selain itu adanya UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dinilai bisa lebih berpihak pada korban.
Pasalnya, dalam UU TPKS, kesaksian korban sudah bisa dijadikan alat bukti.
"Dulu orang males ngelapor karena korban disuruh ngebuktiin sendiri, seperti sudah jatuh ketimpa tangga."
"Saya mengapresiasi hakim dan kepolisian dalam beberapa kasus terakhir," imbuhnya.
Masih Lemah di Pemulihan Psikologis
Meski demikian, proses penyelesaian kekerasan seksual pada anak dinilai Retno tidak boboleh berhenti di level peradilan.
Kondisi psikologis anak korban kekerasan seksual harus diperhatikan negara.
"Kewajiban negara untuk pemulihan psikologi. Kalau pemulihan kesehatan cepet, minum obat sembuh, tapi kalau luka batin butuh waktu yang lama," ungkapnya.
"Kalau tidak tuntas psikologinya, ada potensi korban menjadi pelaku di kemudian hari," ujar Retno.
Menurutnya, jika korban tidak mendapat hak pemulihan psikologi, maka trauma akan dirasakan korban dalam jangka panjang.
"Nah kalau untuk pemulihan psikologi, Indonesia sudah ada regulasinya, tapi pelaksanaannya kurang, karena kurangnya psikolog di daerah-daerah," ungkapnya.
(Tribunnews.com/Gilang Putranto)