TRIBUNNEWS.COM - Sampah kemasan AMDK adalah salah satu penyebab utama masifnya sampah plastik kemasan tertimbun di Indonesia. Berdasarkan audit dan publikasi yang dilakukan oleh organisasi lingkungan Sungai Watch berjudul ‘Sungai Watch Impact Report 2022’, salah satu market leader AMDK di Indonesia menjadi penyumbang terbesar sampah plastik sepanjang tahun 2022. Hal ini menimbulkan tanggapan dari beberapa pihak terutama soal investasi asing yang terjadi di Indonesia.
Sebelumnya, audit terhadap brand juga dilakukan oleh organisasi lingkungan berskala internasional Break Free From Plastic (BFFP) pada tahun 2018 hingga 2022. Berdasarkan data audit, nama yang sama juga berada dalam 10 besar pencemar sampah plastik terbesar di dunia bersama brand internasional lainnya dan menempati posisi puncak di Indonesia.
Ketua Net Zero Waste Management Consortium, Ahmad Safrudin menanggapi hasil temuan Sungai Watch, “Market leader dengan market share air minum dalam kemasan (AMDK) sebesar 45 persen, sehingga adalah lumrah saja apabila kemasan produknya mendominasi sampah di lingkungan.”
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa perusahaan mempunyai beban moral untuk menjadi contoh penerapan Good Corporate Governance (GCG) dan Environmental Social Governance (ESG).
“Masalahnya justru tidak wajar sebagai market leader, karena punya beban moral untuk menjadi contoh pelaksanaan good corporate governance (GCG) dan Environmental Social Governance (ESG), apalagi perusahaan multinasional yang sudah go public dan terikat pada ketentuan sertifikasi di berbagai bidang, termasuk di bidang lingkungan hidup,” katanya.
Ahmad juga menggarisbawahi bahwa temuan Sungai Watch menunjukkan salah satu produsen AMDK multinasional tersebut diduga telah melakukan perbuatan melawan hukum karena memicu terjadinya pencemaran lingkungan hidup (tanggung renteng pelaku dumping limbah di lingkungan - Pasal 60 dan 104 UUPPLH No 32/2009) dan tidak mematuhi ketentuan peta jalan pengurangan sampah (PermenLHK No 75/2019 yang ditetapkan bersandar pada Perpres 97/2017, Perpres 83/2018, PP 81/2012 dan UU 18/2008).
Pengelolaan timbunan sampah yang tak berjalan
Permasalahan timbunan sampah tersebut adalah bentuk indikasi dari tidak optimalnya pengelolaan timbunan sampah. Menurut Ahmad, berbagai program tidak berjalan, seperti program reduce (pengurangan sampah) dengan upsizing (menghentikan penggunaan kemasan plastik pada volume/bobot kecil), recycle dengan EPR (Extended Producer Responsibility, menarik kembali kemasan produknya untuk didaur-ulang), dan reuse dengan pemanfaatan kembali kemasan plastik yang tidak berisiko pada kesehatan.
Secara linear dengan pelanggaran regulasi, hal ini juga melanggar business ethics yang berpotensi menggagalkan Indonesia mencapai SDGs (Sustainable Development Goals), terutama goals 10 (reduce inequality among the countries), 11 (sustainable cities and community), 12 (sustainable consumption and production pattern), 13 (climate action), 14 (life under water), 15 (life on land) dan 17 (partnership to the goals).
Ahmad melanjutkan bahwa perlu adanya sanksi terkait pencemaran lingkungan terhadap brand AMDK multinasional tersebut.
“Bahkan untuk konteks perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, saatnya diberikan sanksi administrasi sebagai langkah awal pengenaan sanksi pidana lingkungan, demi menghentikan pencemaran sampah plastik,” katanya.
Perlunya pengawasan terhadap aktivitas bisnis AMDK
Menanggapi hasil audit yang sama, praktisi lingkungan dari Komunitas Peduli Ciliwung, Suparno Jumar, menyoroti investasi asing yang menurutnya perlu lebih dicermati aktivitasnya agar lebih bisa dikendalikan.
“Apabila terlambat ambil tindakan, maka investasi dan keuntungan yang diperoleh akan sia-sia saja,” ujarnya.