TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB), BBPBAP Jepara gencar mendorong pengembangan udang windu salah satunya melalui pengembangan outlet pentokolan, terutama di tambak-tambak tradisional yang tersebar di Pantura Jawa Tengah, Jawa Timur dan Kalimantan Utara.
Sejak tahun 2022, Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara mengembangkan inovasi pentokolan benih udang windu dengan membangun outlet pentokolan di kawasan budidaya udang windu.
Hingga saat ini setidaknya terdapat sebanyak 5 outlet pentokolan antara lain di Kabupaten Brebes, Sidoarjo, Gresik, Kalimantan Barat, dan di Kota Tarakan. Keberadaan outlet tersebut secara langsung berdampak signifikan terhadap produktivatas budidaya udang windu di kawasan tersebut dan akan jadi model untuk pengembangan di daerah lainnya.
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Tb Haeru Rahayu menegaskan bahwa komoditas udang windu juga menjadi fokus perhatiannya. Oleh karena itu, ia menekankan untuk segera memetakan strategi pengembangannya.
"Saya sudah minta, UPT BBPBAP Jepara untuk mendorong pengembangan udang windu ini, mulai dari ketersediaan benih bermutu, hingga pengembangan budidayanya di masyarakat. Inovasi pengembangan outlet pentokolan, harus didorong secara masif di berbagai daerah, sebagai upaya merevitalisasi tambak tradisional," tegas Tebe.
"Kami punya tanggungjawab besar bagaimana mengembalikan kejayaan udang windu yang selama beberapa dekade terakhir masih terpuruk khususnya di Pantura Jawa, padahal udang windu adalah udang asli Indonesia. Tim kami berpikir keras supaya usaha udang windu ini bisa memasyarakat lagi, kesimpulannya perlu ada revitalisasi dari sisi manajemen produksi. Artinya bagaimana produktivitas naik, dan memberikan keuntungan lebih tinggi bagi pembudidaya," ungkap Kepala BBPBAP Jepara, Supito.
Supito menjelaskan, bahwa masalah utama tambak tradisional adalah kualitas lingkungan budidaya, seperti terjadinya pembusukan dasar tambak, sehingga menyebabkan Survival Rate (SR) rendah yang akhirnya berdampak pada produksi yang rendah juga.
Oleh karena itu, perlu pengendalian dengan aplikasi probiotik lactobacilus dan penggunaan benih yang berkualitas dan adaptif. Adapun benih yang digunakan adalah ukuran tokolan (panjang minimal 1,2 cm) dari outlet pentokolan di dekat lokasi tambak.
Salah satu kelebihan menggunakan benih hasil pentokolan yakni bisa lebih awal memprediksi SR. Artinya, sejak awal akan diketahui kejadian atau masalah yang muncul dalam waktu 1-2 minggu, karena umur pentokolan hanya selama 1-2 minggu, sehingga lebih mudah dalam melakukan risk management. Dari aspek bisnis, menurutnya dengan sistem pentokolan ini lebih efisien dibandingkan dengan tebar benur langsung.
“Jika kita menggunakan benur langsung (ukuran panjang 10 mm) dengan harga per ekor rata-rata sampai lokasi tambak sekitar Rp30,- per ekor, tetapi SR nya hanya 10 persen, artinya secara ekonomi sebenarnya harga benih yang dibeli mencapai Rp300,- per ekor. Tapi kalau kita menggunakan tokolan (ukuran panjang minimal 1,2 cm) dengan harga misalkan Rp60,- per ekor, dengan target SR misalkan 50%, maka harga benih sebenarnya hanya sekitar Rp120,-. Artinya sebenarnya harga tokolan ini lebih murah dibanding benur dengan tingkat SR yang sangat rendah," imbuhnya.
Supito menambahkan setidaknya ada 5 standard yang menentukan dalam pengembangan udang windu yakni : benur yang bebas penyakit, Surat Keterangan Asal Benur (SKA), penerapan Standar Operasional Prosedur (SOP) pentokolan, SOP pembesaran, dan pendampingan teknis. Terkait masalah benih, pihaknya di tahun ini mulai merancang action plan untuk pemuliaan udang windu dengan menggandeng pakar genetik.
"Kami akan berkolaborasi, dan meminta masukan dari para pakar, sehingga tahun ini sudah ada protokol atau SOP baku untuk pemuliaan udang windu," pungkasnya.
Sementara itu, Edi Supriyanto salah seorang pembudidaya udang windu di Kabupaten Sidoarjo, mengaku mendapatkan hasil yang signifikan setelah memakai benur hasil pentokolan.
"Dibanding dengan penebaran sebelumnya yang tidak menggunakan tokolan, setelah menggunaan tokolan panen kali ini jauh mendapatkan hasil yang lebih tinggi. Peningkatannya bisa 100 persen," aku Edi.