TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI) Jusuf Kalla (JK) tidak memperbolehkan masjid digunakan untuk berkampanye politik.
"Masjid kita tidak boleh digunakan untuk berkampanye," kata Jusuf Kalla saat ditemui awak media di gedung Dewan Masjid Indonesia (DMI), Jakarta Timur, Jumat (24/3/2023).
Mantan Wakil Presiden RI ini khawatir, jika masjid dipakai untuk kampanye, maka umat akan terpecah belah.
"Nanti masing-masing minta di masjid, terpecah belah itu (masyarakat)."
"Tidak boleh, sama sekali, untuk berkampanye di masjid," tegas Jusuf Kalla.
Terlebih saat ini banyak partai politik yang menjadi peserta dalam pemilu 2024 nanti.
"Bayangkan nanti kampanye anggota legislatif ada 24 partai. Kalau 24, semua minta di masjid berkampanye, habislah berkelahi lah umat itu," paparnya lagi.
Meski begitu, Jusuf Kalla tidak melarang calon presiden, calon gubernur, maupun calon bupati, untuk datang ke masjid menunaikan salat lima waktu bagi yang beragama Islam.
Karena salat lima waktu merupakan wajib hukumnya untuk seorang muslim.
"Bahwa kalau capres, cagub, cabup ingin solat di masjid itu wajib."
"Tidak boleh dilarang. Tapi datang tidak boleh bicara kampanye," ucapnya.
Hal yang sama juga pernah disampaikan JK saat memberi sambutan pada acara pelantikan pengurus DMI Propinsi Sumatera Selatan Periode 2023-2028 di Masjid Agung Palembang, Selasa (21/03/2023).
“DMI sudah mengeluarkan edaran masjid itu harus steril dari politik praktis tidak boleh berkampanye di masjid."
"Karena kalau semua microphone boleh dipakai oleh 24 parpol nanti bingung masyarakatnya, yang ada masjid jadi tempat menyanjung dan menjelekkan orang. Kalau di lapangan silakan tapi tidak di masjid, siapapun tidak boleh kampanye di masjid," ujarnya.
Meski melarang untuk dijadikan tempat berkampanye politik praktis, namun masjid bisa digunakan sebagai wadah untuk melakukan sosialisasi politik.
Seperti tempat petugas pemilu untuk mengajak masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya atau memberikan sosialisasi tentang tata cara pelaksanaan pemilu.
“Kalau berbicara politik boleh, misalnya mengajak jemaah untuk mendaftarkan diri jadi pemilih, boleh saja karena itu demokrasi."
"Termasuk mengajak masyarakat pada tanggal 14 Februari 2024 ke TPS, itu boleh karena mendukung pemilu yang jujur dan adil," tegasnya.(*)