News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Polisi Terlibat Narkoba

Ahli Psikologi Forensik Duga 3F Jadi Faktor Serius Kasus Teddy Minahasa

Editor: Malvyandie Haryadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Mantan Kapolda Sumatra Barat, Irjen Pol Teddy Minahasa Putra menjalani sidang tuntutan terkait kasus memperjualbelikan barang bukti narkotika jenis sabu-sabu sitaan seberat lima kilogram di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Jakarta, Kamis (30/3/2023). Jaksa Penuntut Umum menuntut Teddy Minahasa dengan hukuman mati dalam kasus tersebut. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN

Tambahan lagi, Reza menyebut permohonan LA untuk menjadi justice collaborator (JC) ditolak Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPS). Alhasil, Linda sangat layak dipandang sebagai saksi merangkap terdakwa yang buruk kredibilitasnya.

"Tinggal lagi pertanyaannya adalah keterangan palsu LA termasuk dalam kategori apa? Pertama, keterangan palsu yang ia berikan secara sukarela (voluntary false confession)? Atau kedua, keterangan palsu yang disampaikan karena adanya tekanan atau pun iming-iming pihak eksternal (coerced false confession)?" kata Reza.

"Mari bernalar, sebesar apa nyali LA sehingga sanggup merekayasa rangkaian cerita bohong dengan inisiatifnya sendiri?" tantang Reza.

Selanjutnya adalah forensic fraud. Ini terkait manipulasi barang bukti forensik, yakni narkoba. Reza Indragiri menyebut indikasi forensic fraud lainnya adalah bukti chat.

Dari 900 bukti chat, ulas Reza, hanya 80 atau sekitar 10 persen saja yang disodorkan penyidik ke persidangan. Dengan demikian, sangat beralasan untuk menilai bukti chat itu sebagai data/informasi yang tidak berkualitas.

"Dari sudut pandang psifor, data/informasi yang berkualitas harus lengkap (utuh) dan akurat. Dengan bukti chat yang sangat sedikit dan terpenggal-penggal, bagaimana bisa dipastikan bahwa simpulan yang terbangun (bahwa TM mengorkestrasi penyisihan, penggantian, dan penjualan narkoba) akan akurat?" tuturnya lebih lanjut.

Apalagi karena bisa dipastikan bahwa nukilan bukti chat dikumpulkan penyidik bukan secara acak, melainkan diambil dengan tujuan tertentu (purpossive sampling). Hal ini sangat mungkin potongan-potongan chat TM dirangkai sedemikian rupa untuk mendukung tujuan (purpose) tertentu.

Dalam analisa Reza, manipulasi bukti forensik juga terlihat pada chat antara Teddy dan Dody. Bukti chat ini yang kemudian diklaim Doddy sebagai perintah Teddy agar mengganti sabu dengan tawas sebagai bonus bagi anggota kepolisian.

"Jika chat tersebut hanya berupa teks (kata-kata), maka tanpa tedeng aling-aling saya meyakini bahwa itu mutlak merupakan perintah salah dari orang (TM) yang memiliki niat jahat (criminal intent)," ujar Reza.

Hanya saja di persidangan ia mengetahui bahwa chat tersebut telah diutak-atik. Yakni, emoji berupa wajah tertawa dihilangkan sepenuhnya.

"Alhasil, begitu emoji dimunculkan sebagaimana chat TM aslinya, penilaian saya serta-merta berubah. Tentu perubahan ini berdasar, yakni sekitar seratus riset tentang komunikasi kriminal yang memuat emoji," bebernya.

Kesimpulannya, emoji mendatangkan konteks dan emosi yang mengubah interpretasi pesan secara keseluruhan.

Reza menjelaskan, begitu signifikannya dampak emoji, sehingga otoritas peradilan di sekian yuridiksi pun menyusun kamus serta panduan bagi hakim untuk memahami komunikasi tertulis yang memuat emoji.

Dengan kata-kata yang sama, namun memuat emoji tertawa, makna pesan Teddy menjadi serba relatif. Reza mencermati chat itu tidak lagi bisa secara absolut dipahami sebagai perintah. Apalagi chat Dody atas chat Teddy itu ternyata juga memuat emoji tertawa.

Halaman
123
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini