TRIBUNNEWS.COM - Presiden Joko Widodo (Jokowi) diminta segera membatalkan status siaga tempur di Nduga, Papua Pegunungan.
Sebelumnya, Panglima TNI Laksamana Yudo Margono menyebut, pihaknya akan meningkatkan status operasi di wilayah yang memiliki tingkat kerawanan tinggi menjadi siaga tempur.
Hal tersebut buntut penyerangan Kelompok Separatis Teroris (KST) terhadap prajurit TNI saat operasi pencarian silot Susi Air, Philips Mark Mahrtens (37), Sabtu (15/4/2023).
Desakan tersebut disampaikan oleh Koalisi Masyarakat Sipil hingga pegiat HAM.
"Koalisi mendesak Presiden dan DPR RI menghentikan operasi tempur dan pendekatan militeristik lainnya untuk menangani situasi keamanan di Papua," kata Anggota Koalisi Masyarkat Sipil, Julius Ibrani, Rabu (19/4/2023) dikutip dari TribunPapua.com.
Julius menilai, peningkatan status operasi tempur itu bukanlah pilihan yang bijaksana.
Baca juga: PDIP Usul KKB Papua Diganti Jadi Gerakan Separatisme
Menurut Julius, operasi tempur justru akan terus memproduksi kekerasan di Papua.
Menurutnya, pemerintah seharusnya mengevaluasi pendekatan keamanan yang selama ini dijalankan di Papua, bukan malah meningkatkan status operasi menjadi siaga tempur.
"Harus menjadi pelajaran berharga bagi Presiden dan DPR untuk mengevaluasi pendekatan keamanan militeristik yang selama ini dijalankan di Papua."
"Selama ini, pendekatan keamanan militeristik yang terus dijalankan berdampak secara langsung dan tidak langsung terhadap terjadinya kekerasan dan pelanggaran HAM terhadap masyarakat di Papua," kata Julius.
Dinilai Bahaya
Desakan pembatalan status siaga tempur itu juga diserukan oleh pegiat HAM sekaligus Peneliti Senior SETARA Institute Ismail Hasani.
Ismail menilai peningkatan status operasi di Papua itu tak hanya semakin menebalkan rasa takut, tetapi juga mencemaskan banyak aspek kemanusiaan.
Menurutnya, langkah ini itu justru kontradiktif dengan pernyataan Yudo setelah resmi dilantik sebagai Panglima TNI.