Dalam persidangan tersebut, Said Iqbal menyampaikan bahwa sejak awal pembentukan maupun diskusi-diskusi yang berkembang terhadap isu Perppu yang terkait dengan UU Cipta Kerja sampai juga saat pembahasan DPR.
Baca juga: Layangkan Gugatan, Partai Buruh Minta MK Batalkan UU Cipta Kerja
Pihaknya beranggapan bahwa proses pembentukan Perppu menjadi UU Cipta Kerja hanya akal-akalan DPR.
“Dalam prosesnya ternyata terbukti tidak pernah satu kalipun kami diundang dan hanya berdasar UU P3 yang sudah disahkan terdahulu maka mereka menyatakan proses pembuatan UU Nomor 6/2023 yang mengesahkan Perppu Nomor 2/2022 sudah sesuai,” kata Said Iqbal.
“Oleh karena itu, kami para buruh khususnya di ketenagakerjaan dan petani sangat dirugikan dalam mekanisme pembuatan UU tersebut karena tidak satupun pokok-pokok gagasan kami yang diterima,” imbuhnya.
Dikatakan Said, dalam satu kali pertemuan secara informal dengan kalangan pengusaha yang bergabung di IKADIN dan hasil pertemuan itu ada semacam rekomendasi yang dipahami kedua belah pihak.
Hasil kedua pihak tersebut kemudian disampaikan kepada pemerintah dalam hal ini Menteri Tenaga Kerja dan Menko Perekonomian.
Tetapi apa daya, semua hasil rekomendasi pembahasan para pihak yang sebenarnya berkepentingan di dalam UU Cipta Kerja tidak ada satu pun yang menjadi pokok-pokok pikiran diterima DPR RI untuk diajukan uji publik bahkan langsung disahkan.
Dengan demikian, sambungnya, Partai Buruh memohon agar MK membatalkan proses pembentukan UU Cipta Kerja.
“Karena kami dirugikan tidak pernah terlibat bahkan hasil diskusi dengan kawan-kawan pengusaha IKADIN diabaikan,” ucapnya.
Sementara dalam permohonannya, Partai Buruh (Pemohon) menjelaskan penetapan UU Cipta Kerja yang tidak sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum.
Tindakan Presiden dan DPR yang mengabaikan putusan MK jelas dan secara nyata bertentangan dengan prinsip negara hukum yang menghendaki bahwa seluruh lembaga negara termasuk lembaga pembentuk undang-undang harus tunduk dan taat pada hukum (konstitusi) termasuk pada putusan MK yang bersifat final dan mengikat.
Menurut Pemohon, tidak taatnya pembentuk undang-undang terhadap Putusan MK menjadi hal yang sangat mengkhawatirkan.
Maka kekhawatiran yang disampaikan Ryan Emenaker (2013) bahwa putusan final and binding peradilan hanyalah sebuah mitos “judicial finality is a myth” akan benar-benar terjadi (bahkan sudah terjadi).
Inilah wujud nyata konstitusionalisme semu, tumpulnya fungsi checks and balances peradilan konstitusi terhadap kekuasan eksekutif dan legislatif.