TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sistem politik di Indonesia masih membuka celah melibatkan keberpihakan aparatur sipil negara (ASN) dalam Pemilu.
ASN pada akhirnya terjebak dalam politik balas budi atau politik balas dendam.
Demikian hal ini disampaikan Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Agus Pramusinto dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema "Pancasila: Dinamika dan Tantangan yang Dihadapi?" yang digelar Moya Institute di Hotel Gran Melia, Jakarta, Kamis (25/5/2023).
Baca juga: KASN Minta Pj Bupati Intan Jaya Batalkan SK Mutasi Pejabat
"Politik kita kerap menyeret-nyeret ASN. Ikut salah, gak ikut salah. Jadi, kalau mereka para ASN terbawa-bawa, akan menjadikan kerja birokrasi tidak efektif. Karena yang muncul adalah politik balas budi, politik balas dendam," ujarnya.
Menurut data Bawaslu, ungkap Agus, dalam rentang waktu 2020-2021 di mana saat itu digelar Pilkada di 270 daerah, pelanggaran netralitas ASN mencapai angka 2.034. Dari jumlah pelanggaran itu, 1.373 ASN di antaranya diberi sanksi oleh pejabat pembina kepegawaian (PPK).
"Kita sudah memasuki tahun politik dan puncaknya tahun depan, itu ada 548 Pilkada dan Pileg serta Pilpres. Potensi kegaduhan akan berlipat ganda. Sekarang jika diikuti media sosial, istilah cebong, kadrun itu masih ada. Dan jika terus berlanjut, itu membahayakan," imbuhnya.
Karenanya Agus menegaskan agar para ASN menempatkan diri pada posisi netral dalam pemilu.
Baca juga: KASN Ungkap Banyak ASN Umur 50 Tahun ke Atas Tidak Netral dalam Pemilu, Modusnya Kampanye di Medsos
“Sebab jika tidak akan mempengaruhi pelayanan publik ke depannya. Hal itu salah satu tantangan yang dihadapi Pancasila, di mana kita masih kerap berpotensi terpecah karena politik," katanya.
Anggota Dewan Pertimbangan Presiden RI Inspektur Jenderal (Purn) Sidarto Danusubroto yang menjadi pembicara kunci dalam FGD tersebut mengatakan, intoleransi, radikalisme, dan terorisme (IRT) adalah virus yang merupakan ancaman untuk keutuhan bangsa.
Ia menggunakan istilah vaksinasi ideologi, sebagai sebuah upaya menjaga keutuhan NKRI.
"Karena Pancasila adalah warisan Bung Karno sebagai founding father, yang selama ini terbukti bisa mempersatukan kebhinekaan. Kalau Indonesia diibaratkan dalam suatu rumah, pondasi dasarnya adalah Pancasila, tiangnya Undang-Undang Dasar 1945, dinding dan atapnya adalah NKRI serta penghuninya Bhinneka Tunggal Ika."
"Ini empat pilar, sejak saya ketua MPR terus digalakkan. Jadi penghuninya itu berbagai suku, agama, budaya dan adat istiadat, harus diwadahi bersama dalam rumah Pancasila ini," paparnya.
Politikus reformasi yang juga Sekjen Partai Gelora Mahfudz Sidiq menyampaikan, dalam konteks membangun peradaban, ada siklus 100 tahun, di mana selama 78 tahun Indonesia Merdeka, kita masih memiliki sisa waktu 22 tahun dari sekarang untuk menuntaskan perjalanan besar sejarah 100 tahun.
"Ideologi Pancasila, konstitusi, dan konsep NKRI telah mengawal sejarah perjalanan hidup bangsa kita. Jika dihitung dari kebangkitan nasional 20 Mei 1928, 100 tahun lagi adalah 2028 dan dihitung dari Proklamasi kemerdekaan, maka 100 tahun lagi adalah 2045."
Baca juga: ASN Tidak Netral saat Pemilu 2024, KASN: Bisa Dipecat