TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan seluruh permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).
Permohonan diajukan oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron.
Sidang pengucapan Putusan Nomor 112/PUU-XX/2022 digelar di MK, pada Kamis (25/5/2023).
“Amar putusan, mengadili, mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Anwar Usman saat membacakan putusan UU KPK dengan didampingi delapan hakim konstitusi.
Dalam amar putusan tersebut, Mahkamah juga menyatakan Pasal 29 huruf e UU KPK yang semula berbunyi, “Berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan”, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun atau berpengalaman sebagai Pimpinan KPK, dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan”.
Kemudian menyatakan Pasal 34 UU KPK yang semula berbunyi, “Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 4 (empat) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan”, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan”.
Menanggapi putusan tersebut, Guru Besar Universitas Gajah Mada (UGM) Prof. Nurhasan Ismail menilai kewenangan MK untuk menguji dan memperbaiki rumusan normanya. Hal tersebut berkaitan dengan dua pasal yang diuji materi.
Pertama terkait Pasal 29 huruf e yang mengubah batas minimal usia dari 40 tahun menjadi 50 tahun dengan tambahan atau berpengalaman.
"Masuk akal karena dengan batas minimal 50 tahun diharapkan ada kematangan batin dan berpikir, atau berpengalaman untuk mengakomodasi orang-orang yang belum mencapai 50 tahun namun sudah pernah memimpin KPK sebelumnya," kata Nurhasan dalam keterangannya, Rabu (7/6/2023).
"Dengan pengalaman yang dipunyai tentu diharapkan kematangan batin dan berpikir sudah semakin meningkat," tambahnya.
Kemudian terkait MK mengubah Pasal 34 tentang masa jabatan pimpinan KPK dari 4 tahun menjadi 5 tahun.
Mengenai masa jabatan, menurut Nurhasan, sebenarnya termasuk Opened Legislative Policy dan menjadi kewenangan pembentuk UU.
"Jika kemudian MK sebagai penjaga konsistensi penjabaran konstitusi dan konsistensi antar-UU yang lain, maka tidak ada sesuatu yang perlu dipermasalahkan dengan pertimbangan konsistensi dengan masa jabatan pimpinan di komisi-komisi lain," katanya.
Mengenai keberlakuan putusan MK terhadap pimpinan KPK yang sekarang, dalam hal ini Firli Bahuri cs, menurut Nurhasan, tentu akan ada perbedaan pendapat.
Baca juga: Firli Bahuri Cs Menanti SK Presiden Jokowi Terkait Penambahan Masa Jabatan Pimpinan KPK
Dia menilai pasti ada yang berpendapat bahwa putusan MK hanya akan berlaku yang akan datang dengan pertimbangan putusan hanya berlaku bagi peristiwa/pimpinan KPK yang akan datang dan tidak boleh berlaku surut.
Kemudian putusan MK dapat diberlakukan terhadap pimpinan KPK yang sekarang dengan pertimbangan bahwa jabatan yang sekarang berlangsung akan mengikuti peraturan yang berlaku pada masa jabatannya.
Menurutnya, jika dalam masa berlangsungnya jabatan yang sekarang ini terjadi perubahan ketentuan peraturan perundang-undangan maka jabatan harus tunduk pada perubahan ketentuan yang terjadi.
“Saya pribadi setuju pendapat kedua dengan pertimbangan lebih efisien dan beranologi pada masa pensiun Guru Besar yang sebelumnya hanya 65 tahun namun dalam perjalanan berubah menjadi 70 tahun. Konsekuensinya semua Guru Besar yang belum pensiun harus pensiun pada usia 70 tahun,” katanya.