TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan menghadiri sidang pemeriksaan saksi terkait kasus 'Lord Luhut' di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Kamis (8/6/2023).
Dalam kesempatan itu Luhut menyinggung terkait kebebasan berpendapat yang kerap digaungkan terdakwa Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti khususnya terkait kasus dugaan pencemaran nama baik dirinya.
"Tidak ada kebebasan yang absolut. Semua harus tanggung jawab," kata Luhut di ruang sidang, Kamis (8/6/2023).
Mengenai dugaan pencemaran nama baik ini, Luhut pun mengaku merasa sakit hati dan terutama apabila hal itu dilihat oleh anak cucunya.
"Saya ingin sampaikan saya merasakan sangat-sangat sakit dan ini menyangkut anak cucu saya karena ini jejak digital gak ilang, jadi jangan dipermainkan," ucapnya.
Menurutnya, jika kubu Haris dan Fatia menilai dirinya bersalah karena memiliki bisnis dan perusahaan seperti yang dituduhkan, maka hal itu bisa dilihat melalui jejak digital yang ada.
"Kalau saya punya salah, kan bisa dilihat apakah saya punya perusahaan bisnis. Apa yang tidak ada di negeri ini," pungkasnya.
Sebagaimana informasi, dalam perkara dugaan pencemaran nama baik ini, Haris Azhar didakwa Pasal 27 ayat (3) junto Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Pidana.
Kemudian Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Pidana.
Baca juga: Luhut Pernah Usul Damai Buntut Kasus Lord Luhut, Perintahkan Pengacara agar Haris Azhar Minta Maaf
Selanjutnya Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 terang Peraturan Hukum Pidana jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Pidana.
Terakhir Pasal 310 ayat (1) KUHPidana jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Sementara Fatia didakwa semua pasal yang menjerat Haris Azhar. Kecuali Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Pidana.