News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

RUU Kesehatan

Pakar Menilai Teknik Omnibus Berbahaya dalam Pembentukan Perundang-undangan

Penulis: Rahmat Fajar Nugraha
Editor: Muhammad Zulfikar
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti. Bivitri Susanti menilai teknik Omnibus dalam pembentukan perundang-undangan berbahaya mengancam demokrasi.

Laporan Wartawan Tribunnews.com Rahmat W. Nugraha

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ahli tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti menilai teknik Omnibus dalam pembentukan perundang-undangan berbahaya mengancam demokrasi.

Adapun hal itu disampaikan Bivitri pada Konferensi Pers Tunda Pengesahan RUU Kesehatan, Perbaiki, dan Pastikan Partisipasi Publik yang Bermakna di Kantor Yayasan LBH Indonesia, Jakarta Pusat, Selasa (13/6/2023).

Baca juga: Serikat Pekerja Minta DPR Hapus Pasal Tembakau dalam RUU Kesehatan

"Saya ingin menekankan dari aspek politik hukum dari RUU Kesehatan yang sekarang ini sedang dibahas. Politik hukum ini akan menyumbang pada tiga hal pertama metode, isi dan teknik perancangan," kata Bivitri.

Kemudian Bivitri mengatakan bahwa tidak boleh main-main terkait teknik perancangan.

"Kita sekarang tidak boleh main-main dengan teknik perancangan karena teknik perancangan pun digunakan untuk tujuan-tujuan tertentu," katanya.

"Tentu saja teknik perancangan ini yang ingin saya bicarakan adalah teknik Omnibus. Teknik ini sebenarnya berbahaya dalam konteks pembentukan perundang-undangan yang demokratis," lanjutnya.

Baca juga: Dukungan Terhadap KPAI Mengawal Hak Anak dalam RUU Kesehatan

Kemudian Bivitri menjelaskan mengapa teknik Omnibus berbahaya dalam dalam konteks pembentukan perundang-undangan yang demokratis.

"Kenapa dia (Omnibus) berbahaya, saya tidak main-main ini. Jadi memang kenyataannya banyak negara metode ini sudah ditinggalkan," sambungnya.

Menurutnya studi banding (Omnibus) di lima negara ditinggalkan betul karena metode tersebut akan melahirkan perubahan dengan cara instan. Karena itu disukai dan digunakan oleh pengusaha yang politik hukumnya ingin perubahan dengan cara instan.

"Seperti yang kita tahu, apa lagi bicara kesehatan bahwa sesuatu yang instan cenderung tidak sehat. Begitu juga perubahan instans dengan metode Omnibus," sambungnya.

Mungkin cepat kata Bivitri, tetapi nyatanya merusak dan ditinggalkan di negara-negara lain. Pertama ditinggalkan karena menyembunyikan hal-hal yang harusnya bisa menjadi perhatian banyak orang.

Baca juga: Lewat Panja RUU Kesehatan, Asosiasi Tembakau Minta DPR Tinjau Ulang RUU Kesehatan

"Kedua ditinggalkan karena akan membuat stakeholder atau pemangku kepentingan terlewat karena topiknya terlalu banyak. Semua ditempatkan pada satu Undang-Undang, supaya cepat," tuturnya.
 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini