News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Mahasiswa FISIP UAJY Gelar Pameran Foto 'Cerita dari Solo' di Bentara Budaya Yogyakarta 13-17 Juli

Editor: Wahyu Gilang Putranto
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Mahasiswa FISIP UAJY menggelar pameran foto bertajuk Cerita dari Solo: Yang Tersua di Satu Masa di Bentara Budaya Yogyakarta, 13-17 Juli 2023.

TRIBUNNEWS.COM - Tim Studi Independen Multikulturalisme Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) menggelar pameran foto bertajuk "Cerita dari Solo: Yang Tersua di Satu Masa" di Bentara Budaya Yogyakarta, 13-17 Juli 2023.

Pameran foto akan dibuka pada 13 Juli 2023 pukul 19.00 - 21.00 WIB.

Ada juga agenda dalam rangkaian pameran foto tersebut, yaitu :

- Jumat, 14 Juli 2023 mulai pukul 18.30 WIB: Nobar "Cerita dari Solo" dan Berbagi Pengalaman

- Minggu, 16 Juli 2023 mulai pukul 18.30 WIB: Diskusi novel Rasina karya Iksaka Banu

Sebanyak 101 foto yang tersaji dalam pameran ini adalah refleksi 15 mahasiswa FISIP UAJY atas “perubahan sosial” yang terjadi di Kota Solo.

Surakarta atau Solo, kota penting bagi peradaban Jawa, tengah menggeliat.

Baca juga: 8 Seniman Indonesia dan Korea Selatan Tampilkan Dunia Ketiga Lewat Pameran Seni Antariksa Yogyakarta

Di bawah kepemimpinan Wali Kota Gibran Rakabuming Raka, pemerintah kota giat membangun wajah baru kota budaya ini. Solo seolah sedang membangkitkan memori kolektif sebagai kota budaya.

Banyak event kebudayaan digelar. Sejumlah situs budaya direvitalisasi. Terakhir, berdiri tugu keris dari semen cor berlapis perunggu. Pura Mangkunegaran juga berbenah.

Terakhir, Pracima Tuin —Taman Pracima— yang dulunya hanya diperuntukkan bagi keluarga Mangkunegaran, kini terbuka untuk umum.

Selama satu bulan penuh, 15 mahasiswa tersebut tinggal di Solo, setelah bolak-balik Yogya-Solo untuk melakukan pra-riset.

Kelima belas mahasiswa tersebut tergabung dalam “Tim Studi Independen Multikulturalisme”, suatu proyek kolaborasi antara Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) dan FISIP UAJY.

Sekaligus sebagai pelaksanaan program “Merdeka Belajar Kampus Merdeka” (MBKM) dengan pendekatan proyek. Didukung oleh Kompas Gramedia, Bentara Budaya, Kognisi.id, PT PLN (Persero), Tanoto Foundation, dan BRI.

Mahasiswa diajak keluar dari menara gading kampus untuk belajar melihat realitas, sekaligus berkarya dengan standar profesional. Dengan pendekatan tersebut, mahasiswa dituntut menghasilkan karya berupa buku foto, film dokumenter, dan pameran foto-video.

Apa yang mereka hasilkan kemudian disajikan kepada publik sebagai pertangunggungjawaban akademis.

“Proyek ini berawal dari inisiatif “Tiga Pilar Tuk Indonesia” yang digagas Penerbit KPG, kemudian disambut oleh FISIP UAJY. Inisiatif ini coba menghubungkan kampus, media, dan swasta dalam kerja-kerja kebaikan bagi Indonesia lewat jalur kebudayaan,” ujar Candra Gautama, Editor Senior KPG.

Proses Kerja

Selama proyek berlangsung sejak tengah Januari 2023, mahasiswa dibimbing para mentor. Baik untuk penelitian sosial, videografi, fotografi, penulisan populer, produksi buku, dan produksi pameran.

Mereka terbagi dalam tiga kelompok, tim riset dan penulisan, videografi, dan fotografi. Tema besar yang diangkat dalam proyek ini adalah “Silang Budaya di Tanah Raja” dengan lokasi riset Kota Solo.

Sebagai langkah awal, Penerbit KPG dan FISIP UAJY menggelar webinar dengan menampilkan kuliah umum Prof. Peter Carey bertajuk “Perbedaan Bisa Dikepangkan” pada 10Maret 2023.

Mereka juga diminta membaca literatur terpilih untuk memperkaya wawasan.

Dari tema besar tersebut, mahasiswa kemudian diajarkan untuk menurunkan sub-tema riset agar
lebih tajam.

Berdiskusi dengan para mentor, mereka lantas menentukan narasumber dan objek riset.

Dalam mengurasi foto, mengedit foto dan video, serta membuat narasi dan rencana produksi pameran—terutama dari aspek artistik—mereka dibantu para mentor dari Penerbit KPG.

“Dari proses kerja semacam itu, kami mendapat pelajaran penting. Kami dilatih rendah hati sebagai periset di tengah keterbatasan pengetahuan, waktu, tenaga, dan dana,” ujar Heinrich Terra, ketua pameran.

Bambang Kusumo Prihandono, Dekan FISIP UAJY menyatakan, “Pameran ini adalah cara mengomunikasikan kepada publik hasil riset, terutama riset visual, dengan cara exhibition. Ini untuk mendekatkan kampus dengan masyarakat.”

Memotret “perubahan sosial”

Frase perubahan sosial dalam prouek ini diberi beri tanda kutip, karena riset yang dilakukan oleh Tim FISIP UAJY bukanlah riset mendalam dan komprehensif bertahun-tahaun.

Mereka hanya menangkap secuil perubahan sosial yang terjadi, bak nginceng dari lubang kunci.

“Kami memilih objek yang dianggap penanda penting perubahan sosial di Kota Solo. Karena itulah pameran ini—juga buku dan video dokumenter—kami beri judul Cerita dari Solo: Yang Tersua di Satu Masa,” kata Gabriel Haris, anggota tim video.

Foto-foto dalam pameran ini disusun sebagai “cerita bergambar”, terbagi dalam tiga bagian.

Untuk mendapatkan narasi, imajinasi, dan “suasana batin”, mahasiswa sengaja memotret satu objek dengan sejumlah foto.

Bagian I, “Bagai Bayang-Bayang Masa Silam”, merupakan narasi tentang sisa-sisa kebudayaan masa lampau yang masih hidup dan dihidupi oleh pelakunya.

Bagian II, “Meniti Buih Perubahan Zaman”, bercerita tentang upaya dan dinamika Kota Solo dalam mempertahankan citra sebagai kota budaya yang berakar pada sejarah negeri silang budaya.

Dalam konteks ini, terjadi perbenturan antara legitimizing identity dan project identity di Solo.

Patut dicatat, membangun kota budaya berbeda dari membangun branding kota budaya.

Kota budaya senantiasa dihidupi oleh seluruh penghuninya.

Atas pemikiran tentang kota budaya tersebut, Halim HD, budayawan Solo, mengatakan, “Solo menghadapi problem tradisi dan kebudayaan seperti kota lain. Dan itu masalah tata ruang. Segregasi ruang terjadi tanpa ada ruang perantara. Ruang antara inilah yang menciptakan kebudayaan bersama.”

Mangkunegara X mengakui bahwa Solo masih stagnan sebagai kota budaya.

“Seni budaya perlu pengembangan, tetapi sesuai akarnya. Pengembangan seperti apa, itu yang harus dipikirkan. Memang cukup stagnan di Solo, butuh proses, waktu dan keaktifan. Terutama di pusat budaya seperti Mangkunegaran,” ujarnya.

Bagian III, “Menimba Kebijaksanan Leluhur”, berkisah tentang upaya keraton merevitalisasi perannya sebagai pusat kebudayaan Jawa. Kita tahu, keraton adalah locus penting pendidikan kebudayaan di Jawa selain pesantren dan perguruan di desa-desa.

Pameran foto ini, yang dibuka oleh budayawan Romo Sindhunata SJ, sekali lagi, hanyalah satu kepingan puzzle tentang perubahan sosial di Solo. Satu kepingan yang dipotret oleh mahasiswa, yang tersua di satu masa.

(Tribunnews.com)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini