Ia menambahkan, hal tersebut pun juga selaras dalam hukum di Indonesia.
"Ketentuan di atas berlaku dalam hukum di antara lain, Texas. Dan saya sepakat dengan itu."
"Tafsiran atas hukum di Indonesia, menurut saya, selaras dengan hukum di Texas tersebut. Atas dasar itulah, para pelaku BDSM, ketika ada pelaku yang tewas, pelaku lainnya dapat dipidana," bebernya.
Di sisi lain, dalam konteks kasus mutilasi di Sleman, Reza menegaskan jika memang benar aktivitas tidak wajar adalah perilaku tindakan seksual menyimpang dan di antara W, RD, dan RTA telah menyetujuinya, maka bukan perbuatan pidana.
"Kalau disepakati bahwa penentu legal atau ilegalnya adalah semata-mata pada persetujuan (consensus), maka aktivitas seksual yang tidak wajar --sepanjang consensual atau ada persetujuan-- dan berakibat kematian bukan perbuatan pidana."
"Dengan konstruksi sedemikian rupa, perbuatan pelaku tidak dapat dikategori sebagai pidana, betapa pun ada di antara pelaku yang tewas. Bahwa jasadnya dibuang, dimutilasi, maka itu 'sebatas' pencurian mayat dan penyembunyian kematian," katanya.
Lebih lanjut, Reza pun menginginkan agar persetubuhan di luar pernikahan dapat dipidana.
Hal tersebut lantaran telah sesuai dengan definisi hukum yang berkembang di masyarakat.
"Saya sebetulnya ingin persetubuhan di luar pernikahan bisa dipidana karena sesuai dengan definisi hukum yang berkembang di masyarakat. Bahwa perbuatan sedemikian rupa adalah perzinaan."
"Jadi betapa pentingnya kitab hukum mengadopsi definisi perzinaan yang hidup di masyarakat," pungkasnya.
(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)
Artikel lain terkait Mutilasi di Sleman