Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Praswad Nugraha mengkritik pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dan Ketua KPK Firli Bahuri soal operasi tangkap tangan (OTT).
Pada suatu acara di Gedung Merah Putih KPK, Luhut bilang OTT seharusnya tak ada.
Sementara Firli menyebut puluhan kali OTT tak menghilangkan korupsi di Indonesia.
Berdasarkan pernyataan itu, menurut Praswad, Luhut dan Firli tidak memahami fungsi dari OTT.
"Pernyataan LBP dan Firli membuktikan mereka tidak memahami fungsi dari OTT. OTT memiliki dua fungsi strategis dalam proses penegakan hukum," kata Praswad lewat keterangan tertulis, Kamis (20/7/2023).
Fungsi pertama, urai Praswad, OTT merupakan pintu masuk dalam penanganan kasus yang lebih rumit.
Kata dia, tidak terhitung jumlahnya kasus bernilai strategis yang pernah ditangani KPK dengan diawali OTT.
"Salah satunya, KPK pernah menangani OTT dengan nilai 70 juta dan berkembang menjadi penyidikan korupsi terkait DAK dengan nilai 10 triliun rupiah," katanya.
"Sedangkan, fungsi lain OTT adalah detterence effect sehingga setiap pejabat publik dibayang-bayangi potensi tertangkap ketika akan melakukan tidak pidana korupsi," imbuhnya.
Baca juga: KPK Luncurkan Kampanye Hajar Serangan Fajar, Firli Sebut Masyarakat Masih Permisif Politik Uang
Ketua IM57+ Institute itu turut meminta Luhut dan Firli kembali belajar soal konsep pencegahan korupsi.
Berdasarkan pengalamannya sebagai penyidik, konsep pencegahan korupsi terbaik di dunia ialah melalui penangkapan.
"LBP dan Firli harus belajar lagi konsep pencegahan korupsi. Praktek pecegahan korupsi di seluruh dunia membuktikan bahwa pencegahan terbaik adalah penangkapan, 'the best prevention is enforcement'. Dan teori ini sudah diuji oleh seluruh lembaga penegak hukum di dunia, tidak hanya di KPK dan di Indonesia," kata Praswad.
Praswad turut menilai Luhut tak patut menilai proses penegakan hukum melalui OTT.
Dia juga mempertanyakan maksud dari pernyataan Luhut.
"LBP selaku Menteri Kordinator tidak patut menilai proses penegakan hukum melalui OTT yang sudah dilakukan oleh lembaga penegak hukum dengan menggunakan istilah kampungan, lalu tunjukkan menurut Luhut yang tidak kampungan itu penegakan hukum yang seperti apa?" kata Praswad.
"Agar lembaga penegak hukum bisa segera mempraktekkannya, jangan hanya bermain di tataran wacana, 'das solen'. Karena hal ini bisa mengakibatkan seluruh tersangka yang di OTT menganggap bahwa penangkapan yang terjadi kepada dirinya adalah praktek yang salah/ilegal, dan ini sangat berbahaya," tandasnya.
Di akhir kalimat, Praswad berpendapat bahwa melemahnya fungsi pencegahan korupsi di Indonesia mutlak dikarenakan adanya imbauan-imbauan dikurangi OTT macam yang disampaikan Luhut dan Firli.
Menurut Praswad, OTT masih sangat dibutuhkan.
"Karena OTT adalah urat nadi strategi pencegahan korupsi. OTT menjadi 'detterence effect' yang paling efektif, tidak hanya di Indonesia, namun di seluruh dunia, tidak bisa terbantahkan," katanya.
Sebelumnya, Luhut berbicara mengenai OTT yang dilakukan oleh KPK.
Luhut berpendapat bahwa makin sedikit OTT yang dilakukan, menandakan bahwa kinerja KPK makin baik.
"Kalau tidak ada OTT, malah lebih baik. Itu berarti upaya pencegahannya lebih efektif," kata Luhut di KPK, Jakarta Selatan, Selasa (18/7/2023).
Hingga saat ini, KPK baru melakukan tiga kali OTT.
Luhut menyambut baik sistem penegakan hukum yang sedang berlangsung di KPK.
Dia merasa heran bahwa penindakan korupsi di Indonesia masih dipamerkan dengan banyaknya kegiatan operasi tangkap tangan.
"Seharusnya kita tidak perlu terlalu sering melakukan OTT. Apa kita bangga melihat OTT-OTT seperti itu? OTT dengan jumlah Rp50 juta, Rp100 juta. Kita tidak pernah menghitung berapa jumlah uang yang mereka selamatkan dalam triliunan-triliunan," kata Luhut.
Sementara itu, Ketua KPK Firli Bahuri bercerita soal puluhan kali OTT saat dia menjabat Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK.
Dia mengatakan puluhan kali OTT tidak menghilangkan korupsi di Indonesia.
"OTT terbanyak tahun 2018 waktu itu saya Deputi Penindakan. 30 kali tangkap tangan (tahun) 2018. Apakah korupsi berhenti? Tidak," ungkap Firli.
Firli kemudian bertanya-tanya mengapa masih ada korupsi di saat KPK melakukan puluhan kali OTT.
Dia menyebutkan pemberantasan korupsi tak bisa dilakukan cuma dengan menangkap pelaku.
"Saya bertanya ini, gagalnya di mana kita mengelola negara ini? Kok bisa masih ada korupsi? Sehingga pada kesimpulan saya, berarti kita memang harus melakukan pemberantasan korupsi secara holistik. Tidak bisa hanya satu-satu," kata Firli.