TRIBUNNEWS.COM - Menjelang pelaksanaan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Summit 2023 di Pulau Karimun, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) merefleksikan jalannya Reforma Agraria di Indonesia. Tidak hanya berfokus pada angka capaian penataan aset, namun juga bagaimana memberikan penataan akses yang berkualitas.
Secara teknis, Direktur Jenderal (Dirjen) Penataan Agraria, Dalu Agung Darmawan menyebut bahwa outcome Reforma Agraria bisa berdampak terhadap perekonomian masyarakat. Hal ini disampaikan dalam acara Webinar GTRA Summit 2023 #RoadtoKarimun seri ke-11 dengan tema Refleksi Reforma Agraria pada Deklarasi Wakatobi Menuju Deklarasi Karimun, pada Kamis (10/08/2023).
“Penataan aset, bagaimana tanah itu sebagai sumber-sumber kehidupan masyarakat, artinya tanah itu harus dimanfaatkan secara adil. Sedangkan, penataan akses itu bagaimana tanah tersebut memberikan ruang bagi masyarakat sebagai sumber kemakmuran,” tuturnya.
Baca juga: ID Survey Bersama Kementerian ATR/BPN Komitmen Selenggarakan Informasi Geospasial
Dalu Agung Darmawan mengakui bahwa ada tantangan dalam perjalanan Reforma Agraria. Untuk itu, di momen refleksi saat ini ia menekankan agar pilar penataan aset dan akses harus mendapatkan perlakuan yang seimbang. Persepsi dan kebijakan masing-masing stakeholder juga harus disamakan.
“Perlu dicocokkan data untuk mendukung pelaksanaan Reforma Agraria. Ketika kita ingin menyelesaikan persoalan, maka yang harus kita pastikan adalah data. Kami sedang mendorong dan memanfaatkan bhumiatr, yaitu di situ ada fitur bhumiGTRA yang saya pakai sebagai wadah untuk menyamakan persepsi terkait data,” ungkapnya.
Di tahun ini, dengan kerja sama dari salah satu stakeholder, yakni Civil Society Organization (CSO), telah diusulkan sedikitnya 70 Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) yang tersebar di Indonesia. “Nah peran masing-masing sektor sangat tinggi karena dari 70 LPRA ini tipologinya (permasalahan, red) itu sampai delapan. Ada yang berkaitan dengan Kementerian BUMN, KLHK, Kemendes PDTT, dan ada yang berkaitan dengan asetnya pemerintah daerah,” ujar Dirjen Penataan Agraria.
Baca juga: Serahkan Sertifikat di Kepulauan Seribu, Menteri ATR/BPN Tegaskan Program PTSL hingga ke Pulau Kecil
Ia menyebut, diskusi dengan CSO untuk membahas soal penataan aset dan akses terutama di LPRA ini bisa membantu menghilangkan hambatan yang dihadapi terkait Reforma Agraria. “Hampir setiap minggu bertemu CSO, paling tidak mengetahui persoalan di masing-masing lokus. Dengan mengetahui dinamika persoalan yang ada di masing-masing lokasi, kita bisa mengetahui apa yang harus dikerjakan, untuk berkolaborasi, untuk kemudian berdiskusi dengan berbagai stakeholders,” ucap Dalu Agung Darmawan.
Agar tercipta keterpaduan antara perencanaan dan pelaksanaan Reforma Agraria di daerah, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Usep Setiawan menegaskan untuk seluruh pihak terkait ikut berkolaborasi menjalankan program tersebut. Terkhusus bagi kementerian/lembaga, ia meminta untuk mengesampingkan ego sektoral sebagaimana tertuang dalam deklarasi GTRA Summit 2022 lalu.
Baca juga: Wamen ATR/BPN: Pemerintah Beri Kepastian Hukum Bagi Masyarakat Hukum Adat
“Sudah disebutkan Reforma Agraria perlu ada kolaborasi. ATR/BPN sebagai leading sector-nya tidak bisa bekerja sendiri. Dari sisi peraturan, perkuat substansi dari Reforma Agraria, lalu lakukan sosialisasi dan konsolidasi, kemudian laksanakan. Rakyat yang jadi subjek utama dari Reforma Agraria, pemerintah memfasilitasi,” imbuhnya.
Rakyat sebagai komponen krusial dalam pembuatan kebijakan dinilai penting untuk dilibatkan dan diprioritaskan pendapatnya. Salah satu perwakilan dari CSO WRI Indonesia, Rakhmat Hidayat berpendapat, dengan peran dari organisasi masyarakat sipil, kebijakan yang dibuat di mana dalam hal ini terkait Reforma Agraria, bukan hanya pada kerangka besar, namun bisa dibuktikan di lapangan. “Agar proses pemberdayaan, kemandirian pasca redistribusi bisa sebagai pegangan hidup (masyarakat, red), bukan satu-dua bulan tapi untuk seumur hidup,” pungkasnya.(*)