Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Laksamana Muda TNI Kresno Buntoro beserta dua prajurit TNI aktif dan tiga purnawirawan lainnya mendaftarkan permohonan pengujian Undang-Undang nomor 34 tahun 2004 tentang TNI khususnya terkait usia pensiun prajurit menjadi 60 tahun ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam salinan permohonan berkop surat VST and Partners Advocates and Legal Consultan yang diterima pada Jumat (18/8/2023), Kresno dan para pemohon lainnya mengajukan permohonan pengujian pasal 53 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 204 tentang Tentara Nasional Indonesia.
Kuasa hukum Kresno dan para pemohon lainnya, Viktor Santoso Tandiasa, mengatakan permohonan tersebut di antaranya diajukan dengan mempertimbangkan putusan MK sebelumnya atas gugatan serupa terkait usia pensiun TNI atas nama Euis Kurniasih dan kawan-kawan yang telah ditolak.
Permohonan tersebut sebelumnya ditolak MK di antaranya karena urusan tersebut dinilai merupakan kewenangan pembentuk Undang-Undang atau Pemerintah dan DPR (Open Legal Policy).
Ia menilai, saat ini belum ada political will dari pembentuk Undang-Undang untuk membahas hal tersebut.
Baca juga: Revisi UU TNI Dikhawatirkan Munculkan Kembali Konflik antara Masyarakat dengan Militer
"Seperti perkembangan yang terjadi itu kan sampai saat ini bahkan belum ada pembahasan tentang revisi UU TNI di DPR nya. Sementara dari TNI tentunya sejak putusan itu sudah merekomendasikan pasti. Cuma karena tidak adanya political will dari pembentuk UU ya kita mengajukan permohonan ini," kata Viktor ketika dihubungi pada Jumat (18/8/2023).
Selain itu, kata dia, permohonan tersebut juga diajukan dengan pertimbangan adanya perkembangan-perkembangan baru dalam putusan Mahkamah Konstitusi.
Terkait hal itu, ia mencontohkan dikabulkannya permohonan Nurul Ghufron terkait perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK dari empat tahun menjadi lima tahun.
"Di sisi lain sudah ada perkembangan-perkembangan yang terjadi di MK. Contoh kayak kasusnya perkara 112 Nurul Ghufron. Itu kan seharusnya open legal policy, tapi MK mengambil peran itu," kata dia.
Baca juga: Revisi UU TNI Dinilai Berpotensi Disahkan Dalam Waktu Singkat Seperti UU Lainnya
Selain itu, kata Viktor, pihaknya juga mempertimbangkan pandangan berbeda atau dissenting opinion dari empat hakim MK terkait permohonan pengujian Undang-Undang nomor 34 tahun 2004 tentang TNI yang diajukan Euis dan kawan-kawan.
Meski sejalan dengan pandangan empat hakim yang mengajukan dissenting opinion tersebut, kata dia, pihaknya tidak secara utuh sependapat dengan pandangan tersebut.
"Misalnya, hakim itu mengatakan ya sudah disamakan dengan Polri, tapi kalau kita tidak setuju dengan itu. Kita berpendapat bahkan Polri pun harusnya disamakan saja semua 60 (tahun), biar nggak ada perbedaan," kata dia.
"Karena kalau kita melihat UU Polri sebenarnya masih ada diskriminasi juga. Misalnya seluruh anggota Polri diberhentikan di usia 58, tapi dapat diperpanjang ke 60 (tahun) kalau punya keahlian tertentu. Keahlian tertentu itu kan menjadi subjektif akhirnya penilaiannya. Artinya ada yang bisa di 60 (tahun) kan, ada yang tetap 58 (tahun), tanpa ada ukuran yang jelas keahlian seperti apa," sambung dia.
Berikut ini poin-poin petitum permohonan yang dikirimkan Viktor.
Berdasarkan seluruh uraian-uraian sebagaimana disebutkan di atas, PARA PEMOHON memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa dan mengadili permohonan ini untuk berkenan memutuskan:
1. Mengabulkan permohonan PARA PEMOHON untuk seluruhnya.
2. Menyatakan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 4439) bertentangan secara bersyarat (Conditionally Unconstitutional) dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Prajurit melaksanakan dinas keprajuritan sampai usia paling tinggi 60 (enam puluh) tahun.”
Atau,
Menyatakan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 4439) bertentangan secara bersyarat (Conditionally Unconstitutional) dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Prajurit melaksanakan dinas keprajuritan sampai usia paling tinggi 60 (enam puluh) tahun bagi perwira dan 58 (lima puluh delapan) tahun bagi bintara dan tamtama”.
Atau
Menyatakan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 4439) bertentangan secara bersyarat (Conditionally Unconstitutional) dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai: dapat diperpanjang sampai dengan usia 60 (enam puluh) tahun bagi seluruh Perwira dalam Dinas Keprajuritan Tentara Nasional Indonesia sepanjang masih dibutuhkan untuk kepentingan Pertahanan Negara.
3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Atau, apabila Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
Dilansir dari laman resmi MK, mkri.id, MK sebelumnya telah menolak permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang diajukan oleh Euis Kurniasih, Jerry Indrawan G, Hardiansyah, A. Ismail Irwan Marzuk, Bayu Widiyanto, dan Musono dalam sidang yang digelar di MK, Selasa (29/3/2022) secara daring.
MK menilai batas usia pensiun TNI yang menurut para Pemohon perlu disetarakan dengan batas usia pensiun Polri merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk undang-undang yang sewaktu-waktu dapat diubah sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan dan sesuai dengan jenis serta spesifikasi dan kualifikasi jabatan tersebut atau dapat melalui upaya legislative review.
Namun demikian, menurut MK, meskipun penentuan batas usia pensiun TNI merupakan kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang, MK perlu menegaskan kembali peran yang dilakukan kedua alat negara tersebut memang berbeda meski keduanya memiliki kedudukan kelembagaan yang setara dan strategis serta merupakan kekuatan utama sistem pertahanan keamanan rakyat semesta.
Mengacu pada keterangan Presiden dan keterangan DPR yang juga dibenarkan oleh keterangan Pihak Terkait dalam hal ini Panglima TNI, revisi UU TNI termasuk mengenai batas usia pensiun TNI telah tercantum dalam Daftar Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Perubahan Kedua Tahun 2020-2024.
Sehingga demi memberikan kepastian hukum, menurut MK, pembentuk undang-undang harus melaksanakan perubahan UU TNI dengan memprioritaskan pembahasannya dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Menurut MK, Pasal 53 dan frasa ‘usia pensiun paling tinggi 58 (lima puluh delapan) tahun bagi perwira dan 53 (lima puluh tiga) tahun bagi bintara dan tamtama’ dalam Pasal 53 dan Pasal 71 huruf a UU TNI tidak bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu permohonan Pemohon tidak beralasan hukum untuk seluruhnya.
Terhadap putusan MK tersebut empat Hakim Konstitusi yakni Aswanto, Suhartoyo, Wahiduddin Adams, dan Enny Nurbaningsih menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion).
Pendapat berbeda tersebut di antaranya batas usia pensiun bintara dan tamtama disamakan dengan usia pensiun pada anggota kepolisian merupakan hal yang seharusnya dikabulkan oleh Mahkamah karena beralasan menurut hukum.
Oleh karenanya frasa ‘usia pensiun paling tinggi 53 tahun bagi bintara dan tamtama dalam Pasal 53 dan Pasal 71 huruf a UU TNI bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan mengikat sepanjang dimaknai ‘usia pensiun prajurit TNI bagi bintara dan tamtama disamakan dengan usia pensiun anggota kepolisian negara Republik Indonesia.