TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin menilai kasus agraria di Kendeng, Rembang dan Wadas, Purwerojo, Jawa Tengah (Jateng) semestinya diselesaikan dengan baik.
Pemerintah pusat dan Pemrov Jawa Tengah dipandang punya sumber daya untuk melakukan hal tersebut.
“Oleh karena itu, harus diselesaikan secara baik-baik, secara komprehensif, secara menyeluruh hingga akar-akarnya agar persoalan Kendeng dan Wadas itu tuntas, tidak menimbulkan kerja-kerja politik ke depan,” kata Ujang kepada wartawan, Jumat (1/9/2023).
Setidaknya ada dua konflik agraria yang mengemuka pada era kepemimpinan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.
Pertama, polemik pembangunan pabrik semen di Pegunungan Kendeng, Rembang. Sejak Mei 2014, warga Kendeng memprotes penambangan dan pembangunan pabrik semen di Kendeng karena khawatir merusak ekosistem pegunungan karst dan berdampak pada mata pencaharian mereka.
Pada 2015, putusan MA membatalkan izin pembangunan pabrik tersebut. Ganjar merespons dengan menerbitkan izin baru.
Pada akhir 2016, KLHK meminta pembagunan ditunda. Dua bulan berselang, Ganjar menerbitkan izin baru dengan dalih kajian lingkungan sudah sesuai.
Keputusan itu memicu protes warga setempat hingga pemerintah memutuskan moratorium. Meski begitu, penambangan semen hingga kini masih berlangsung di Kendeng.
Warga terdampak mengeluhkan kerap gagal panen lantaran kerap kebanjiran akibat tambang.
Konflik lainnya ialah terkait penolakan warga terhadap penambangan batu andesit dan pembangangunan Bendungan Bener di Wadas, Purworejo.
Konflik itu mengemuka pada awal 2022 setelah tindakan represif aparat terhadap warga di Wadas terekam dalam sebuah video yang beredar luas.
Ganjar sempat turun tangan langsung meredakan konflik tersebut. Di depan publik ia meminta maaf kepada warga Wadas dan sempat menginap di Wadas tanpa pengawalan untuk berdialog dengan warga. Upaya itu cukup membuahkan hasil.
Pada Juli 2022, sebagian besar warga telah bersedia melepaskan tanahnya.
Menurut Ujang, dua kasus tersebut seolah-olah sekadar ditutup-tutupi, tapi tidak diselesaikan sepenuhnya.
Dia menerka, dua kasus itu dilokalisasi agar tidak mengganggu tingkat keterpilihan Ganjar yang kini sudah diusung menjadi calon presiden pada Pemilu 2024.
“Jadi, saya melihatnya, tadi, untuk kepentingan elektoral pasti kasus-kasus tersebut dikondisikan agar tidak keluar, agar tidak mencoreng elektoral Ganjar Pranowo,” ucapnya.
Dalam konteks politik, menurut Ujang, menutup-nutupi isu negatif merupakan strategi yang lumrah dilakukan para politikus. Dengan demikian, konflik-konflik yang mengemuka seolah-olah dianggap sudah ditangani.
“Kalau dikondisikan saja agar tidak muncul, tapi akar persoalan masih ada, masyarakat kan akan merasa tertekan, merasa kecewa. Dan suatu saat akan muncul kembali pasca-pilpres (pemilihan presiden),” jelas dia.
Baca juga: Jika Dulu Panas, Kini Pengukuran Wadas Penuh Canda Tawa
Terkait pembangunan pabrik semen di Kendeng, Ganjar telah mengikuti instruksi pemerintah pusat untuk moratorium.
Dalam sebuah rapat koordinasi di Jateng, Ganjar juga sempat menyatakan mencabut izin pembangunan pabrik dan penambangan lantaran berisiko merusak lingkungan.
Adapun terkait konflik Wadas, Ganjar menyebut sudah memberikan ganti rugi Rp11 miliar kepada ketua kelompok yang menolak pembangunan Bendungan Bener.
Selain itu, dia juga sudah berkomunikasi dengan Presiden Joko Widodo terkait progres proyek tersebut.
“Ini nanti akan menyelesaikan satu pengendalian banjir. Dua, suplai air dan kemudian derivat turunan dari proyek itu,” kata Ganjar di Rakernas XVI Apeksi yang diselenggarakan di Makassar, Sulawesi Selatan, belum lama ini.