Romo Agus Widodo Pr, dari Keuskupan Agung Semarang, mengatakan bahwa Indonesia membutuhkan banyak anak muda seperti Dewi. Perkenalan dengan Dewi terjadi ketika sama-sama kuliah di Roma.
Dewi kuliah beasiswa dari Dewan Kepausan Vatikan, sementara Rm Agus tengah studi doktoral (S3) di Roma. Keduanya bertemu dalam suatu acara yang digelar KBRI pada tahun 2019.
“Mbak Dewi adalah anak muda yang mempunyai concern untuk berjejaring, untuk membangun persaudaraan lintas iman. Dia seorang perempuan yang masih sangat muda dengan pandangan pluralitas,” tutur Rm Agus Widodo.
Agus Widodo yang juga dosen di Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma dan Fakultas Teologi Kepausan Weda Bhakti mengagumi foto Dewi saat bersalaman dengan Paus menjadi viral. Ada sekian banyak yang memuji tetapi tak sedikit juga yang menghujat.
“Ya itulah cerminan masyarakat kita. Tapi saya lihat Mbak Dewi tidak gentar dengan hujatan-hujatan tersebut. Pemuda-pemudi seperti inilah yang menjadi harapan kita semua. Saya juga menginginkan mahasiswa-mahasiswa banyak berjejaring dengan kaum muda lintas iman,” tandas Romo yang saat ini menjadi staf Seminari Tinggi St Paulus Kentungan.
Pada kesempatan yang sama, Fr Merry Christian Putra Pr juga mengakui kiprah Dewi Praswida dalam kegiatan lintas iman. Frater Tian –demikian frater yang tengah studi S2 ini akrab disapa—pernah berada dalam satu forum seminar atau workshop di Semarang, berkenaan dengan toleransi dengan Dewi Praswida.
“Dia ngomong soal toleransi dalam perspektif Islam, saya dalam perspektif Katolik. Mbak Dewi bicara ajaran dalam hadits dan Al Quran seperti apa itu toleransi, saya omong dogma ajaran gereja, dan injil seperti apa,” ucap Frater Tian.
Dalam forum untuk orang muda Katolik tersebut, Dewi dan Frater Tian satu sama lain saling memahami dan melengkapi. “Bagaimana pun Mbak Dewi pernah di Roma bertemu dengan Rm Agus dan bertemu Bapa Paus segala saya rasa pandangannya begitu luas. Sehingga ketika saya omong soal iman katolik dia juga memahami,” katanya.
“Misalnya saat saya bilang toleransi dalam ajaran Katolik saya paparkan soal Nostra Aetate, dia bisa merespon untuk melengkapi. Jadi benar dalam hal ini kami seperti sahabat dalam kemanusiaan,” tandasnya.
Rm Agus mengharapkan apa yang sudah baik untuk membangun persaudaraan terus dijalankan orang-orang seperti Dewi.
Ia juga mengingatkan tentang apa yang telah dibuat Paus Fransiskus bersama Imam Besar Al-Azhar Syekh Ahmed Al-Tayyeb untuk dunia yang kemudian diwujudkan dalam bentuk Dokumen Abudhabi. Dokumen itu untuk membangun human fraternity atau persaudaraan sejati, dan Indonesia membutuhkan figure seperti Dewi. Hubungan lintas agama oleh penganutnya diwujudkan dalam persaudaraan untuk perdamaian.
“Secara psikis tampak jelas sekali ketika Mbak Dewi menanggapi ajaran gereja Katolik dia menanggapinya dari sudut pandang agamanya (Islam) jadi tidak meleburkan ajaran agamanya. Begitu juga simbolik lainnya ketika dia berjumpa dengan Paus Fransiskus dia tampil tetap sebagai seorang muslimah ya dengan jilbab. Semoga apa yang ada di dalam diri Mbak Dewi ini bisa menular atau ditularkan kepada generasi muda sekarang, mengingat generasi muda sekarang merupakan generasi yang mudah terpengaruh. Nah, kalau yang memberi pengaruh itu adalah yang baik seperti Mbak Dewi ya tentunya akan banyak orang muda yang baik, tidak fanatik banget,” tandas Rm Agus.
Sementara Deni Iskandar dari Pandeglang, yunior penerima beasiswa Nostra Aetate, mengucapkan selamat atas pernikahan seniornya itu.
Deni mengatakan bahwa Dewi masuk dalam tahapan berikut dalam kehidupannya.
Dan dari pernikahan tersebut akan lahir generasi baru pecinta persaudaraan dan perdamaian lintas agama.
"Pernikahan Mbak Dewi dan Mas Novy bukanlah pernikahan yang biasa. Ini pernikahan yang istimewa dan berharap tahun depan, lahir generasi baru yang mencintai persaudaraan lintas agama dan perdamaian. Selamat untuk Mbak Dewi dan Mas Novy,“ ujar Deni.