Sejak saat itu Benni Sahetapi menyebut gedung bekas markas Lekra hanya ditempati oleh delapan kepala keluarga ABRI.
"Belanda memang rumahnya gede-gede itu ada 8 keluarga tadinya bangunan lama, diisi oleh ABRI ada yang ABRI sipil," ungkapnya.
"Saya hanya tahu itu gedung Lekra saat saya datang udah diduduki oleh tentara sipil," sambungnya.
Tak berselang lama, gedung tua bekas markas Lekra dan diisi oleh delapan kepala keluarga tersebut kemudian diratakan dengan tanah.
Saat itu gedung tua tersebut dibeli oleh orang asing yang kemudian mulai beralih fungsi.
"Dan dibeli oleh orang Cina lah yang punya usaha. Memang tadinya rumah tua, lalu diratakan saya juga engga tahu kegiatan Lekranya itu apa," ungkapnya.
Dipastikan oleh Benni jika kesaksian dari para anggota Lekra kala itu tidak diketahui pasti. Begitupun dengan dirinya.
Baca juga: Profil DN Aidit, Pemimpin Terakhir Partai Komunis Indonesia (PKI)
"Memang semuanya engga ada yang tahu soal Lekra karena sudah lama, di sini paling lama saya doang dan saya tahu sedikit soal itu dan engga ada yang mau cerita soal itu," ungkap Benni.
"Memang dulu kegiatan menarinya kan dulu dibilang menari engga ada yang tahu," sambungnya
Hingga akhirnya kini gedung tua bekas markas Lekra itu kini terlihat kokoh dengan renovasi yang telah dilakukan.
Diketahui berdasarkan sumber dari Tribunnewswiki.com dengan judul berita Lembaga Kebudayaan Rakyat bahwa Lekra merupakan organisasi kebudayaan sayap kiri di Indonesia.
Organisasi ini berdiri pada 17 Agustus 1950 atas inisiatif dari D.N. Aidit, Nyoto, M.S. Ashar, dan A.S. Dharta.
Selain tiga orang itu, ada 12 orang lainnya yang ikut serta dalam pendirian Lekra ini, mereka menyebut dirinya dengan peminat dan pekerja kebudayaan di Jakarta.
Berdirinya Lekra ini ditandai dengan diluncurkannya Mukadimah Lekra sebagai naskah proklamasi pendirian sebuah organisasi kebudayaan yang berdiri pada 1950.