Laporan Wartawan Tribunnews.com, Mario Christian Sumampow
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan lembaga negara pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
Ada empat kewenangan dan satu kewajiban MK sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar; memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Sementara dalam kewajibannya, MK wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
"Pelanggaran dimaksud sebagaimana disebutkan dan diatur dalam ketentuan Pasal 7A UUD 1945 yaitu melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945," sebagaimana dikutip dari laman situs resmiĀ mkri.id, Selasa (17/10/2023).
Baca juga: Sebut Putusan MK Harus Dihormati, Jimly Asshiddiqie: Pisahkan Aturan dengan Keputusan Politik
Dalam perannya sebagai lembaga yudikatif, ada sembilan hakim konstitusi yang mengambil keputusan untuk urusan ketatanegaraan dan peradilan di tanah ibu pertiwi ini.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK, MK dibentuk lewat hakim konstitusi yang berasal dari tiga lembaga negara Indonesia yaitu DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung (MA). Setelah itu, setiap lembaga tersebut berhak untuk menentukan tiga calon hakim konstitusi.
Sembilan hakim MK saat ini tengah jadi sorotan pascaputusan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang pada intinya mengubah syarat usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).
Dalam sidang putusan pasa Senin (16/10/2023) lalu terlihat komposisi hakim konstitusi adalah lima banding empat dalam mengabulkan gugatan yang dilayangkan oleh Almas Tsaqibbiru, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta (Unsa) yang juga anak dari Boyamin Saiman.
Artinya lima hakim menyatakan mengabulkan permohonan Almas selaku pemohon dan sepakat untuk mengubah syarat usia minimal capres cawapres (dua concurring opinion dari Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic P Foekh).
Sedangkan empat hakim lainnya tidak setuju dan menyatakan perbedaan pendapat atau dissenting opinion.
Adapun empat hakim MK yang melakukan dissenting opinion itu adalah Saldi Isra, Wahiduddin Adams, Arief Hidayat, dan Suhartoyo.
Sebagai catatan concurring opinion berarti terdapat pendapat satu atau lebih hakim pengadilan yang setuju dengan keputusan yang dibuat oleh mayoritas pengadilan tetapi menyatakan alasan yang berbeda sebagai dasar keputusan mereka.