News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pilpres 2024

Sosok 4 Hakim MK yang Menolak Mengubah Syarat Usia Capres dan Cawapres

Penulis: Mario Christian Sumampow
Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Dari kiri ke kanan: Saldi Isra, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, dan Arief Hidayat. Ada empat hakim yang berbeda pendapat atau tidak setuju terkait putusan MK soal kepala daerah yang belum berusia 40 tahun bisa menjadi capres-cawapres. Ini sosok mereka.

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Mario Christian Sumampow

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan lembaga negara pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan

Ada empat kewenangan dan satu kewajiban MK sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.

MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar; memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Sementara dalam kewajibannya, MK wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

"Pelanggaran dimaksud sebagaimana disebutkan dan diatur dalam ketentuan Pasal 7A UUD 1945 yaitu melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945," sebagaimana dikutip dari laman situs resmi mkri.id, Selasa (17/10/2023).

Baca juga: Sebut Putusan MK Harus Dihormati, Jimly Asshiddiqie: Pisahkan Aturan dengan Keputusan Politik

Dalam perannya sebagai lembaga yudikatif, ada sembilan hakim konstitusi yang mengambil keputusan untuk urusan ketatanegaraan dan peradilan di tanah ibu pertiwi ini.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK, MK dibentuk lewat hakim konstitusi yang berasal dari tiga lembaga negara Indonesia yaitu DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung (MA). Setelah itu, setiap lembaga tersebut berhak untuk menentukan tiga calon hakim konstitusi.

Sembilan hakim MK saat ini tengah jadi sorotan pascaputusan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang pada intinya mengubah syarat usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).

Dalam sidang putusan pasa Senin (16/10/2023) lalu terlihat komposisi hakim konstitusi adalah lima banding empat dalam mengabulkan gugatan yang dilayangkan oleh Almas Tsaqibbiru, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta (Unsa) yang juga anak dari Boyamin Saiman.

Artinya lima hakim menyatakan mengabulkan permohonan Almas selaku pemohon dan sepakat untuk mengubah syarat usia minimal capres cawapres (dua concurring opinion dari Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic P Foekh).

Sedangkan empat hakim lainnya tidak setuju dan menyatakan perbedaan pendapat atau dissenting opinion.

Adapun empat hakim MK yang melakukan dissenting opinion itu adalah Saldi Isra, Wahiduddin Adams, Arief Hidayat, dan Suhartoyo.

Sebagai catatan concurring opinion berarti terdapat pendapat satu atau lebih hakim pengadilan yang setuju dengan keputusan yang dibuat oleh mayoritas pengadilan tetapi menyatakan alasan yang berbeda sebagai dasar keputusan mereka.

Tribunnews.com sosok empat hakim MK yang menolak untuk mengabulkan perkara yang digadang-gadang merupakan "karpet merah" bagi putra sulung Jokowi, Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka, untuk maju sebagai cawapres di Pilpres 2024.

Saldi Isra

Saldi Isra merupakan hakim yang diusulkan oleh Presiden.

Masa jabatannya adalah 11 April 2017 sampai dengan 11 April 2032. Guru Besar Hukum Tata Negara ini dilantik Jokowi untuk menggantikan hakim Patrialis Akbar.

Masih dikutip dari laman situs resmi MK, pria kelahiran 20 Agustus 1968 tersebut berhasil menyisihkan dua nama calon hakim lainnya yang telah diserahkan kepada Jokowi oleh panitia seleksi (Pansel) Hakim MK pada 3 April 2017 lalu.

Wakil Ketua MK Saldi Isra (dok.)

Dalam sidang putusan Senin kemarin Saldi saat membacakan dissenting opinion mengaku merasa merasa bingung. Sejak menjadi hakim konstitusi pada 2017 lalu, baru kali ini ia mengalami peristiwa aneh dan luar biasa proses pengambilan keputusan.

“Sejak menapakkan kaki sebagai hakim konstitusi di gedung mahkamah ini pada 11 April 2017, atau sekitar enam setengah tahun yang lalu, baru kali ini saya mengalami peristiwa aneh yang luar biasa dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar,” ujar Saldi di ruang sidang Gedung MK, Senin.

Wahiduddin Adams

Hakim yang akrab disapa Wahid ini masuk dalam periode keduanya menjadi hakim konstitusi. Periode pertamanya adalah 21 Maret 2014 sampai dengan 21 Maret 2019.

Kemudian ia dilantik lagi untuk periode keduanya pada 21 Maret 2019 lalu dan akan berakhir pada 17 Januari 2024.

Wahid merupakan hakim yang diusulkan oleh DPR. Sebelum menjadi hakim konstitusi, Wahid adalah seorang birokrat di Kementerian Hukum dan HAM, menjabat sebagai Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan dari 2010 hingga 2014.

Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams berada di ruang tunggu KPK untuk menjalani pemeriksaan, Jakarta, Selasa (14/2/2017). (TRIBUNNEWS/HERUDIN)

Dalam perkara pengujian pasal kesusilaan pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Wahid adalah salah satu dari empat hakim (bersama Aswanto, Anwar Usman, dan Arief Hidayat) yang berpandangan bahwa pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan jati diri konstitusional sebagai sebuah "konstitusi yang berketuhanan", sehingga permohonan untuk memperluas penafsiran pasal kesusilaan di KUHP harus diterima.

Arief Hidayat

Sama seperti Wahid. Arief juga merupakan hakim rekomendasi DPR dan juga saat ini menjabat sebagai hakim konstitusi di periode keduanya.

Periode pertamanya adalah 1 April 2013 sampai dengan 1 April 2018. Di depan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ia mengucapkan sumpah jabatan sebagai satu dari sembilan pilar MK.

Arief menggantikan Menkopolhukam Mahfud MD yang mengakhiri masa jabatan sebagai hakim konstitusi yang telah diembannya sejak 2008. Kemudian periode Arief kedua dimulai 27 Maret 2018 sampai dengan 3 Februari 2026 mendatang.

Dalam rilis Indonesian Corruption Watch (ICW) pada 2018 lalu, pelantikan Arief untuk kembali menjadi hakim sempat menjadi sorotan.

Sebab bagi ICW pelantikan kembali itu dapat dipandang sebagai ketidakpedulian Jokowi terhadap pembusukan MK, manakala seorang hakim konstitusi yang sudah dua kali dijatuhi sanksi etik, kembali mengisi jabatan yang sama.

Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengucapkan sumpah jabatan di hadapan Presiden Joko Widodo saat dilantik di Istana Negara, Jakarta, Selasa (27/3). Presiden melantik Arief Hidayat menjadi hakim konstitusi periode 2018-2023 setelah terpilih sebagai hakim konstitusi perwakilan DPR.(Warta Kota/Henry Lopulalan) (Warta Kota/Henry Lopulalan)

Masih dalam rilis ICW, diketahui Arief telah terbukti melanggar kode etik dan perilaku hakim konstitusi dan dijatuhi sanksi ringan oleh Dewan Etik berupa teguran tertulis dan teguran lisan.

Kedua sanksi tersebut diberikan karena Arief terbukti telah memberikan katebelece kepada Mantan Jampidsus Widyopramono dan karena Arief Hidayat terbukti telah melakukan pertemuan secara tidak patut dengan Politisi DPR RI.

Suhartoyo

Suhartoyo juga saat ini menjabat sebagai hakim konstitusi dalam periode keduanya. Ia hakim yang diusulkan oleh MA dan dilantik pada untuk periode pertama pada 7 Januari 2015 dan berakhir 7 Januari 2020.

Periode kedua ia dilantik pada 7 Januari 2020 dan bakal berakhir pada 15 November 2029.

Dari data yang dihimpun, Björn Dressel dan Tomoo Inoue dalam kajian ilmiahnya di jurnal Constitutional Review pada bulan Desember 2018 menemukan Suhartoyo, bersama mantan hakim konstitusi I Dewa gede Palguna dan Ahmad Syarifuddin Natabaya, merupakan yang paling cenderung berpihak pada pemerintah dalam memutuskan sebuah perkara.

Kajian itu mencatat Suhartoyo berpihak kepada pemerintah dalam 52 persen kasus yang diadili oleh MK.

Ia juga tercatat sebagai salah satu dari lima hakim yang paling sering mengeluarkan dissenting opinion, yaitu pada 47 persen kasus di bawah mantan hakim Achmad Roestandi, Palguna, dan Natabaya.

Presiden Jokowi Menghadiri Pengucapan Sumpah Ketua dan Wakil Ketua MK Masa Jabatan 2023-2028, Ruang Sidang Pleno Gedung I MK, Jakarta, Senin (20 Maret 2023). Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman, Hakim Mahkamah Konstitusi Enny Nurbaningsih, Suhartoyo, Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Saldi Isra, yang akan menjalankan tugasnya pada masa jabatan 2023-2028. (Biro Pers Setpres/Lukas/HO/Tribunnews) (Biro Pers Setpres/Biro Pers Setpres)

Dalam pengujian konstitusionalitas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, Suhartoyo bergabung dengan mayoritas hakim yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut membatasi hak terpidana dalam meminta grasi, sehingga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Dalam amar putusannya, Suhartoyo menegaskan bahwa grasi sangat penting "tidak hanya kepentingan terpidana", tetapi juga "untuk kepentingan negara terhadap besarnya beban politik yang ditanggung atas penghukuman terpidana yang mungkin ada kaitannya dengan tekanan rezim kekuasaan".

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini