Laporan Wartawan Tribunnews, Mario Christian Sumampow
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti kecewa dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal usia calon presien (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).
Terlebih ia juga menilai dalam tindakannya MK memutus suatu perkara yang bukan wilayahnya melainkan wilayah pembentuk Undang-Undang (UU) atau open legal policy.
Dalam sidang putusan itu ada beberapa gugatan serupa. Namun hasil putusannya seperti kata Bivitri, inkonsisten.
"Dari tiga pola perkara ini, putusan-putusannya inkonsisten. Kalau menggunakan logika atau istilah MK penalaran hukum yang wajar, begitu pola satu ditolak dengan alasan kebijakan hukum terbuka, mestinya pola dua dan tiga sudah ditolak dengan alasan itu juga," ujar Bivitri dalam keterangannya, Selasa (17/10/2023).
"Karena semua perkara itu, pola yang manapun, sebenarnya tengah meminta MK memutus suatu perkara yang sebenarnya bukan wilayah MK, alias wilayah pembentuk UU," ia menambahkan.
Adapun 7 perkara yang disidang MK soal usia minimal capres cawapres. Perkara nomor 105/PUU-XXI/2023 ditarik kembali oleh pemohon.
Perkara 29/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh PSI pun ditolak MK, disusul juga perkara nomor 51/PUU-XXI/2023 yang dilayangkan Partai Garuda serta perkara nomor 55/PUU-XXI/2023 yang penggugatnya adalah duo kader Gerindra yakni, Wali Kota Bukittinggi Erman Safar dan Wakil Bupati Lampung Selatan Pandu Kesuma Dewangsa.
Putusan berbeda terjadi pada perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 yang dimohonkan oleh Almas Tsaqibbiru, seorang mahasiswa Solo yang merupakan anak dari Boyamin Saiman Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI).
Gugatan Almas dikabulkan sebagian oleh MK. Hasilnya, usia minimal capres cawapres yang mulanya 40 tahun kini berubah.
MK membuat syarat alternatif yakni jika seseorang belum berusia 40 tahun, tetap bisa mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden jika pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu, termasuk kepala daerah.
Dengan diputuskannya perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 ini maka perkara nomor 91/PUU-XXI/2023 dan 92/PUU-XXI/2023 pun tidak diterima oleh MK sebab kehilangan objek permohonan dan pasal yang digugat sudah berubah
Bivitri lantas mempertanyakan pola putusan MK itu. Untuk perkara nomor 51 dan 55 memang MK mendalilkan adanya pengecualian untuk open legal policy yaitu ketidakadilan yang intolerable.
"Tetapi bila dicermati, pokok penalarannya bukan ketidakadilan. Kalau soalnya ketidakadilan, bukankah pola pertama (putusan nomor 29) juga seharusnya dikabulkan, karena ketidakadilan harusnya juga bisa didalilkan," ungkapnya.
"Jadi pengecualian digunakan sebagai jalan pembuka untuk kemudian membuatkan argumen untuk menjustifikasi syarat substantif untuk menggantikan syarat umur berupa angka," sambungnya.
Putusan MK ini bersifat langsung final dan mengingat sehingga tidak perlu perubahan UU. Pun MK sudah menyatakan putusan ini bakal berlaku untuk Pemilu 2024.