Laporan Wartawan Tribunnews.com Rahmat W. Nugraha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti kritisi Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang saat ini masih berupa Ad Hoc alias belum permanen.
Adapun hal itu disampaikannya saat berdiskusi bertajuk menyelamatkan demokrasi dari cengkraman oligarki dan dinasti politik, Hotel Borobudur, Jakarta (14/11/2023).
"Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi belum permanen. Bayangkan sebuah lembaga yudikatif yang tidak punya sistem pengawasan," kata Bivitri dalam paparannya.
Ia mengungkapkan bahwa pembentuk MKMK pada kepemimpinan Jimly Asshiddiqie bersifat ad hoc belum permanen.
"Yang kemarin itu hanya Ad Hoc untuk kasus yang kemarin saja. Jadi itu Prof Jimly dan kawan-kawan bekerja 30 hari saja. Karena masih Ad Hoc," jelasnya.
Atas hal itu ia menilai Ketua Hakim Konstitusi yang baru Suhartoyo untuk membuat MKMK jadi permanen sesuai yang diamanatkan oleh Undang-Undang sejak 2020 lalu.
"Tapi tak kunjung dibuat juga sebenarnya selama 3 tahun ini kita punya lembaga yudikatif tidak tanpa sistem kontrol, bayangkan. Kita mau bicara demokrasi yang seperti apa seperti itu," tegasnya.
Diketahui Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) telah memberhentikan Anwar Usman sebagai ketua MK buntut pelanggaran kode etik kehakiman terkait perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia capres-cawapres.
Anwar Usman terbukti melanggar ketentuan Sapta Karsa Hutama, yakni prinsip integritas, kecakapan, kesetaraan, independensi serta kepantasan dan kesopanan terkait putusan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 soal batas usia capres-cawapres.
Kemudian Hakim Konstitusi Suhartoyo terpilih sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) yang baru. Pemilihan Suhartoyo sebagai Ketua MK, dilakukan melalui Rapat Permusyawakatan Hakim (RPH) tertutup untuk umum yang berlangsung di Ruang Sidang Pleno MK, pada Kamis (9/11/2023).