Di saat mulai banyak orang Yahudi di New York yang menunjukkan sikap tak setuju atas zionisme Israel, Fink melalui sosial media mengunggah postingan yang mengecam Hamas karena menyebabkan tewasnya sejumlah warga sipil di Israel. Belum cukup, dia juga melewatkan Israel dari daftar kecamannya, seolah kebengisan Israel atas Gaza terjadi di planet yang lain.
Sikap Fink yang terlihat begitu pro-perang tersebut turut menyeret perusahaan multinasional yang berbasis di Prancis, yang sebagian besar sahamnya dipegang oleh perusahaan milik Fink. Ini juga berdampak pada unit-unit usaha perusahaan raksasa tersebut, termasuk yang berada di Indonesia, karena dianggap sebagai bagian dari mesin-mesin kapitalis global yang aktif membandari Israel.
Lantas, apakah sikap Fink dan operasionalnya memiliki kaitan langsung dengan perusahaan air minum yang berada di Indonesia?
Untuk diketahui, perusahaan induk dari market leader air mineral di Indonesia tersebut pada tahun 2022 membukukan penjualan global sekitar Rp550 triliun, atau setara seperenam APBN Indonesia 2023. Dari angka yang begitu besar tersebut, hasil penjualan di Indonesia berkontribusi sebesar Rp27 triliun. Tentunya, ini merupakan angka yang besar.
Mengingat fakta bahwa Blackrock adalah pemegang saham utama di perusahaan induk air mineral tersebut, dan fakta bahwa perusahaan ini merupakan pengendali pada unit-unit bisnisnya di Indonesia, maka setiap sen penjualan produk air mineral mereka, baik kemasan gelas, botol maupun galon), tentunya masuk ke perusahaan induk yang berada di Prancis.
Dari situ, hasil penjualan yang diterima tentu juga masuk ke brankas Blackrock di New York. Inilah gambaran keseluruhan dari keterkaitan antara perusahaan multinasional asal Prancis dengan Blackrock di New York, yang dengan jelas merupakan pendukung Israel.
Baca juga: Tanggapi Boikot Produk Israel, Menaker Ida: Itu Ekspresi Kepedulian pada Saudara Kita di Palestina
Relasi dengan produsen makanan dan minuman terbesar di Israel
Setelah mengetahui keterkaitan di antara kedua pihak secara jelas, masyarakat tentu dapat menilai sendiri klaim perusahaan yang menyebut tidak memiliki pabrik dan tidak beroperasi di Israel tersebut.
Untuk memperkaya perspektif, ada baiknya masyarakat juga mengetahui cerita lain mengenai keterkaitan perusahaan raksasa multinasional yang bermarkas di Prancis ini dengan Israel.
Pada tahun 1970-an, perusahaan tersebut menjalin kerja sama strategis dengan salah satu produsen makanan dan minuman kemasan di Israel.
Kerja sama kala itu mencakup bantuan permodalan, penjualan produk dan kesepakatan alih-teknologi. Boleh dikata, perusahaan ini telah membuka akses bagi perusahaan Israel tersebut untuk dapat berinovasi dan mengadaptasi keilmuan kelas tinggi yang dihasilkan laboratorium-laboratorium risetnya di berbagai negara, termasuk fasilitas riset utama yang bertempat di Centre Daniel Carasso, di Prancis.
Tak hanya sampai di situ, pada 1974, perusahaan multinasional ini juga mendukung perusahaan makanan dan minuman kemasan Israel tersebut untuk dapat memproduksi Yogurt. Kemudian pada tahun 1982, di tengah bertumbuhkan gerakan boikot dunia Arab atas produk Israel, perusahaan multinasional yang berinduk di Prancis tersebut memutuskan menarik diri.
Menariknya, perusahaan ini pergi dengan memberi syarat asal tiga produk unggulannya bisa tetap diproduksi di Israel asalkan dengan tulisan dalam aksara Ibrani.
Namun relasi mereka dengan Israel tak berakhir sampai di situ. Setelah 14 tahun undur diri untuk menghindari kemarahan negara-negara Arab, perusahaan ini kembali menjalankan kerja sama dengan Israel pada tahun 1996.