TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Stabilitas agenda pembangunan Indonesia dapat terjaga dengan baik melalui sinergitas antara ulama dan umara.
Atas kerja sama yang baik antar keduanya, rakyat Indonesia meletakkan harapannya agar mampu melewati tantangan zaman.
Karenanya, ulama dan umara harus melakukan konsolidasi secara berkesinambungan, baik ketika membuat peraturan perundang-undangan ataupun fatwa ijtihadiyah agar pada pelaksanaannya bisa saling mendukung.
Aktivis anti radikalisme, Ken Setiawan menjelaskan bahwa sinergitas antara ulama dan umara seharusnya bisa terjalin dengan baik. Misalnya saja seperti ketika mengeluarkan fatwa terhadap produk yang terafiliasi dengan Israel.
Jika saja MUI (Majelis Ulama Indonesia) berkoordinasi dengan baik bersama Pemerintah, tentu reaksi yang kemungkinan timbul bisa ditekan dampak negatifnya.
“Supaya tidak menjadi polemik di masyarakat, karena kita berada pada zaman yang luar biasa. Arus informasi begitu cepat menyebar dengan media sosial, bukan hanya informasi positif, yang negatif juga banyak,” ungkap Ken di Lampung, Jumat (24/11/2023).
Menurutnya, semua orang tentu berharap agar ulama dan umara dapat bijaksana dalam menyampaikan isu-isu sensitif.
Dalam menyuarakan fatwa ataupun keputusan resmi, jangan sampai para punggawa negeri ini justru menimbulkan polemik di masyarakat, apalagi mengingat bangsa Indonesia akan masuk pada perayaan Pilpres 2024. Ini semua perlu dilakukan agar suasana bisa kondusif.
Sangat disayangkan apabila hari ini, masih ada bagian dari masyarakat yang melihat pesta demokrasi itu bukan dengan suka ria, tapi justru menganggapnya sebagai medan perang.
Ken menambahkan, melalui pengalaman beberapa kali ajang pemilihan umum di Indonesia, baik di tingkat pusat hingga daerah, ada saja yang menggunakan kartu politik identitas demi memuluskan tujuannya. Kalau para ulama dan umara tidak bijaksana dalam menyikapi hal semacam ini, malah bahkan ikut memprovokasi, tentu ini akan menjadi preseden buruk bagi kehidupan berdemokrasi di Indonesia.
Pesta demokrasi harusnya membuat rakyat bersukacita memilih pemimpin selanjutnya tanpa harus dipaksa masuk pada polarisasi kepentingan yang sangat tajam.
“Kita mungkin masih ingat ada beberapa kasus yang terjadi saat pemilu dan pilkada yang lalu, suasananya sungguh mencekam layaknya medan perang. Ada semacam dogma yang disebar, kalau tidak memilih salah satu paslon (pasangan calon) nanti masuk neraka, tapi jika memilih paslon ini, nanti masuk surga,” tutur Ken.
Ia mengungkapkan begitu peliknya situasi kala itu, hingga ada sepasang suami istri yang sampai bercerai karena beda pilihan politik.
Diharapkan saat ini masyarakat sudah lebih cerdas untuk menyikapi informasi yang datang.