Beberapa aspek penting yang tidak boleh luput dari pembahasan RUU tersebut dalam konteks kedaulatan negara dan hukum internasional secara inklusis, seperti dibutuhkannya sistem tata kelola yang komprehensif, peningkatan kapasitas, batas rasional, demarkasi antara ruang udara dan angkasa membawa konsekuensi konkrit dan realistis, serta vital.
Selain itu, delimitasi juga dibutuhkan untuk menentukan rezim hukum yang berlaku.
Hal itu diperlukan untuk pengelolaan ruang udara bagi penerbangan sipil, kedaulatan nasional perlu dipahami secara konsisten dengan realitas politik, ekonomi, dan sosial.
"Meski kedaulatan negara merupakan prinsip dasar dalam hukum internasional, namun gagasan tentang kedaulatan tetap dinamis dan terus berkembang seiring perkembangan lingkungan global," katanya.
Baca juga: Jokowi Sebut Indonesia Resmi Ambil Alih Pengelolaan Ruang Udara Kepri-Natuna dari Singapura
Seiring kemajuan teknologi, menurutnya zona near space memiliki potensi signifikan untuk kepentingan sipil dan militer. ' Menurut Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok menggambarkan near space sebagai medan pertempuran baru.
"Mengingat belum hadirnya hukum positif yang membicarakan perihal near space secara spesifik bagi ruang udara Indonesia, kiranya ketentuan ini dapat menjadi setidaknya satu pasal dalam perumusan RUU Pengelolaan Ruang Udara Nasional," harapnya.
Berkaitan dengan pendirian Ibu Kota Nusantara(IKN) yang dekat dengan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), Ruang udara di atas ALKI merupakan airroads bagi pesawat negara, termasuk pesawat tempur asing, di mana terdapat kebebasan hingga batas tertentu mengacu United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982.
"Sekarang muncul kembali tantangan layaknya pada peristiwa hukum FIR-DCA, yakni sejauh apa menahan diri dalam menetapkan prohibited, restricted, dan danger area agar tidak bertentangan dengan hukum internasional, termasuk UNCLOS 1982," tutupnya.