News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Ekonom Sebut Hilirisasi Mulai Berdampak Positif pada Neraca Perdagangan di Indonesia

Editor: Content Writer
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ekonom dan Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal

TRIBUNNEWS.COM - Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal, menilai bahwa kebijakan hilirisasi mulai memberikan manfaat positif terhadap neraca perdagangan Indonesia. Faisal pun menyoroti perubahan struktur ekspor Indonesia yang semula fokus pada ekspor komoditas beralih menjadi ekspor manufaktur. 

Pernyataan di atas merupakan tanggapan Faisal terhadap neraca perdagangan Indonesia yang surplus selama 43 bulan berturut-turut. Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik (BPS), surplus perdagangan pada November 2023 mencapai USD2,41 miliar. Sementara, surplus akumulatif periode Januari-November 2023 mencapai USD33,63 miliar.

“Struktur ekspor Indonesia berubah sejak ada hilirisasi, sehingga ekspor produk olahan nikel meningkatkan jenis ekspor untuk logam dasar. Itu masuk kategori manufaktur yang memberikan nilai tambah dibanding ekspor barang mentah,” ungkap Faisal dikutip dari rilis Media Center Indonesia Maju. 

“Betul bahwa ekspor kita mulai merasakan manfaat dari hilirisasi. Walaupun memang tingkat pengolahannya masih tahap awal dan bisa disempurnakan lagi potensinya. Itu lebih baik daripada ekspor barang mentah. Kalau kita puas dan stop di sini, justru negara lain yang akan mendapatkan nilai tambah yang lebih besar. Artinya, hilirisasi ini harus terus diolah,” tambah Faisal. 

Walaupun neracanya surplus, kata Faisal, tapi nilainya jika dibandingkan dengan Oktober 2023 mengalami penurunan USD1,06 miliar. Bahasa lainnya adalah surplus atau kelebihan ekspor terhadap impor semakin mengecil nilainya. 

Peraih gelar doktor dari Universitas Queensland itu menyatakan, hilirisasi memang kebijakan yang berorientasi pada jangka panjang. Jika pemerintah terus menggeber surplus neraca perdagangan dengan mengekspor barang mentah, maka Indonesia akan kehilangan daya tawar dan kesempatan emasnya untuk menjadi negara besar di masa depan. 

Sebagai informasi, hilirisasi merupakan upaya negara untuk mendongkrak ekonomi dengan memberikan nilai tambah atas suatu komoditas. Faisal mencontohkan, Ketika Indonesia berkomitmen untuk mengoptimalkan hilirisasi nikel, maka pemerintah praktis melarang ekspor nikel dalam bentuk barang mentah (raw material). 

“Apakah kita ingin mendapat keuntungan sesaat tapi nilainya kecil atau keuntungan jangka panjang dengan nilai yang lebih besar. Hilirisasi mungkin membuat kita rugi jangka pendek karena ada ekspor yang tereduksi. Tapi, jangka panjangnya, kita akan punya produk dengan nilai tambah yang lebih besar. Kalau kalkulasi dagang, hilirisasi akan jauh lebih untung daripada jual barang mentah,” jelasnya. 

“Kalau hilirisasi ditunda dengan alasan supaya bisa ekspor raw material, ya tidak baik. Karena sumber dayanya akan habis. Semakin banyak yang diekspor barang mentah, semakin sedikit kita merasakan nilai manfaatnya. Secara kuantitas dan peluang investor datang akan semakin kecil, karena hilirisasi jadi tidak menarik lagi,” sambungnya. 

Ia pun tidak menampik munculnya resistensi dari sejumlah negara yang menentang kebijakan hilirisasi. Oleh karenanya, alumni Institut Teknologi Bandung itu mengusulkan dua hal supaya kebijakan hilirisasi tidak mengganggu neraca perdagangan. 

Pertama, pemerintah harus menentukan sektor hilirisasi prioritas. Menurutnya, Indonesia memiliki segudang potensi hilirisasi, mulai dari sektor energi, perikanan, pertanian, hingga kehutanan. Namun, kalkulasi pasar dan permintaan harus menjadi pertimbangan utama dalam menentukan sektor apa yang akan menjadi senjata andalan Indonesia. 

“Kalau satu komoditas dijadikan produk, tapi permintaan pasarnya malah sedikit, itu berarti gagal hilirisasinya. Makanya nikel dan electric vehicle itu mungkin paling menjanjikan karena kalkulasi market dan permintaannya ada. Jadi kita harus menentukan hilirisasi prioritas, tidak bisa semuanya bersamaan,” katanya.  

Adapun usulan kedua adalah pemerintah harus siap bertarung di arena politis melalui platform diplomasi perdagangan. Sebab, hilirisasi sama saja memberikan restriksi atau proteksi terhadap suatu komoditas, yang mungkin saja negara lain memberikan respons serupa kepada Indonesia. 

“Setiap ada hilirisasi, pasti ada larangan ekspor. Nah, disitulah harus ada kesiapan trade diplomacy. Karena akan sangat lumrah ketika negara protes atau men-challenge kebijakan hilirisasi, dan itulah fakta yang kita hadapi dengan negara lain. Jadi kalau mau mengoptimalkan hilirisasi, tidak bisa bergerak parsial hanya bisnisnya saja. Investasi sendiri, perdagangan sendiri, diplomasi sendiri. Semuanya harus bersamaan. Itulah yang dilakukan negara-negara maju,” tuturnya.  

Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia, mengatakan bahwa hilirisasi memberikan nilai tambah yang signifikan terhadap produk yang dihasilkannya. 

Bahlil menyebutkan bahwa nilai ekspor komoditas nikel hanya mencapai USD3,3 miliar pada 2018. Setelah larangan ekspor dan hilirisasi diberlakukan, nilai ekspor nikel terus bertambah hingga mencapai USD33 miliar pada 2022.

Maka dari itu, Bahlil menerangkan, hilirisasi tidak hanya akan fokus pada komoditas nikel saja. Berdasarkan roadmap hilirisasi 2040, pemerintah menargetkan nilai investasi dari hilirisasi mencapai USD545,3 miliar pada 2040 yang berasal dari 8 bagian dan 21 komoditas.

Salah satu peluang hilirisasi di masa depan bisa dilihat dari PT Freeport Indonesia (PTFI) dengan “harta karun” yang masih tersimpan di Grasberg Papua. Untuk Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang diperpanjang dari 2018 hingga 2024, PTFI optimistis bisa menyetorkan hingga Rp1.200 triliun ke negara. Setelah 2024, PTFI pun masih yakin mampu menyetorkan sekitar USD4 miliar atau Rp62 triliun setiap tahunnya. 

PTFI, diketahui yang merupakan perusahaan tembaga terbesar di Indonesia, bisa memanfaatkan hilirisasi tembaga seiring dengan tingginya permintaan kendaraan listrik. Pasalnya, kebutuhan tembaga diprediksi akan meningkat hingga empat kali lipat lebih besar jika dibandingkan kendaraan konvensional. 

“Untuk baterai kendaraan listrik, komposisi tembaga cukup signifikan sekitar 10,8 persen, ini juga sangat krusial. Kita harus punya cadangan tembaga yang cukup kalau memang kendaraan listrik ini ke depan akan jadi salah satu backbone dari transisi kita ke depannya,” ujar Vice President Government Relation and Smelter Technical Support PT Freeport Indonesia, Harry Pancasakti, pada Desember 2023. (***Deska***) 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini