Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tim kuasa hukum pengusaha Helmut Hermawan menyatakan kekecewaan kepada penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam mengusut kasus penyuapan yang diduga dilakukan oleh mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Eddy Hiariej beserta dua rekannya, Yogi Arie Rukmana dan Yosi Andika Mulyadi.
"Kami menduga KPK tidak profesional, tidak tegas, dan tidak serius menangani perkara yang diduga melibatkan ketiga orang tersebut," kata pengacara Helmut, M Sholeh Amin, dalam keterangannya, Selasa (16/1/2024).
Sholeh menyatakan bahwa perkara ini bermula dari laporan yang dilakukan oleh Helmut Hermawan melalui kuasa hukum dan Indonesia Police Watch (IPW) atas dugaan tindak pidana pemerasan dalam jabatan yang diduga dilakukan oleh Eddy Hiariej dalam posisinya selaku pejabat publik bersama dengan Yogi dan Yosi.
KPK telah menetapkan ketiga orang tersebut sebagai tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi.
Namun, Sholeh menyatakan sejumlah kekecewaan kepada penyidik KPK atas beberapa fakta yang diabaikan dalam perkara tersebut.
Pihaknya menyesalkan dan menyayangkan penetapan Helmut Hermawan sebagai tersangka.
Padahal fakta yang sesungguhnya terjadi, lanjut Sholeh, kasus ini merupakan perkara yang dilaporkan sendiri oleh Helmut Hermawan selaku pelapor sekaligus korban, melalui kuasa hukum kepada KPK atas tindak pidana pemerasan dalam jabatan.
Menurut Sholeh, bahwa tidak ada fakta mengenai unsur suap dan gratifikasi yang dilakukan oleh Helmut kepada Eddy dalam perkara ini.
Sholeh menjabarkan, yang sesungguhnya terjadi adalah adanya pemerasan dalam jabatan yang dilakukan oleh Eddy bersama dengan Yogi dan Yosi dengan meminta 12,5 persen saham PT Citra Lampia Mandiri.
"Permintaan itu disertai dengan ancaman kepada Helmut Hermawan untuk diproses hukum apabila tidak dipenuhi," kata Sholeh.
Buktinya, lanjut Sholeh, karena Helmut Hermawan tidak memenuhi keinginan Eddy bersama Yogi dan Yosi, maka terjadilah fakta yaitu Helmut akhirnya kehilangan posisinya selaku Direktur Utama PT CLM.
Terjadi perubahan-perubahan akta yang mengambil alih PT Asia Pacific Mining Resources (APMR) dan PT CLM berdasarkan Akta Nomor 6 Tanggal 24 Agustus 2022 (mengambil alih 100 persen saham PT APMR) dan Akta Nomor 7 Tanggal 13 September 2022 (mengganti seluruh direksi perseroan dan memecat Helmut sebagai direktur utama).
Baca juga: KPK Tak Bisa Hadir di Sidang Praperadilan Eks Wamenkumham Eddy Hiariej Hari Ini
Sholeh mengatakan, pada saat yang hampir bersamaan terbit juga laporan polisi yang ditujukan kepada Helmut Hermawan. Keenam laporan tersebut yakni:
a. LP/B/0911/X/2019/SPKT/Mabes Polri Tanggal 17 Oktober 2019 atas dugaan Tindak Pidana Pasal 372, 378 Jo 55 dan 56 KUHP, terkait Jual Beli 85 persen saham CLM milik APMR selaku pihak penjual dengan ASCAP selaku pihak pembeli;
b. LP/B/0537/IX/2022/SPKT/Mabes Polri Tanggal 19 September 2022 atas Dugaan Tindak Pidana Pasal 263, 266 KUHP, terkait menyuruh menempatkan keterangan palsu ke dalam akta otentik dan/atau pemalsuan surat dimaksud dalam Pasal 266 KUHP dan/atau Pasal 263 KUHP terkait RUPS-LB PT CLM No 9 tanggal 14 September 2022 yang dibuat oleh Notaris Febrian;
c. LP/A/473/XII/2022/SPKT/Ditreskrimsus/Polda Sulsel Tanggal 20 Desember 2022 atas dugaan tindak pidana Pasal 69 ayat (1) dan atau ayat (2) Jo Pasal 61 huruf a UU No.26 tahun 2007 sebagaimana dengan UU No 11 tahun 2022 tentang Cipta Kerja dan atau Pasal 109 UU No 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana diubah dengan UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja;
d. LP/B/944/II/2023/SPKT/Polda Metro Jaya tanggal 20 Februari 2023 atas dugaan tindak pidana Pasal 263 KUHP dan Pasal 266 KUHP, terkait dengan pemalsuan surat di Manhattan Square, Jakarta Selatan;
e. LP/A/421/XI/2022/SPKT/Ditreskrimsus/Polda Sulsel tanggal 16 November 2022 atas Dugaan Tindak Pidana Pasal 159, 110, 111 UU 4 Tahun 2009 Tentang Minerba, terkait tindak pidana pertambangan yaitu pemegang IUP yang dengan sengaja menyampaikan laporan dengan tidak benar atau menyampaikan keterangan palsu, dan;
f. LP/B/107/XI/2022/SPKT/Polres Luwu Tanggal 5 November 2022 Timur tentang Pencurian Ore Nikel, yang terjadi pada tanggal 01 November 2022 sampai dengan 04 November 2022 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 362 KUHP atau Pasal 53 KUHP Jo Pasal 55 dan 56 KUHP.
Lebih jauh Sholeh mengatakan, saat ini Eddy, Yogi, dan Yosi telah ditetapkan tersangka oleh KPK.
Ironisnya, kata dia, penyidik tidak melakukan penangkapan dan penahanan kepada ketiga tersangka itu, sebagaimana yang telah dialami oleh Helmut sebagai pihak pelapor.
"Hal ini menunjukkan bahwa penegak hukum telah tebang pilih dalam mengusut perkara ini," ujar Sholeh.
Menurut dia, bila alasan bahwa Eddy, Yogi, dan Yosi melayangkan upaya hukum praperadilan sehingga tidak ditangkap dan ditahan, maka hal tersebut merupakan penyesatan hukum yang nyata.
Sholeh mengatakan, dalam sejarah KPK sejak berdiri tidak pernah seorang pun yang telah menjadi tersangka menggunakan instrumen praperadilan sebagai alasan untuk menunda penangkapan atau penahanan oleh KPK.
"Hal ini menunjukkan KPK saat ini sudah tidak lagi menjadi penegak hukum yang profesional dan berkeadilan serta telah kehilangan sense of justice sebagai lembaga antikorupsi," tegas Sholeh.
Yang janggal, kata Sholeh, praperadilan Eddy, Yogi, dan Yosi yang diajukan pertama dengan register nomor perkara 134/Pid.Pra/2023/PN Jkt Sel telah dicabut oleh EOSH dan disetujui oleh KPK.
Belakangan, ketiga tersangka kembali mengajukan upaya praperadilan baru dengan register perkara Nomor 2/Pid.Pra/2024/Pn.Jkt.Sel. Meski demikian, tersangka (terlapor) tetap bebas berkeliaran.
"Apakah proses ini akan terus menerus berlangsung dengan menghalangi KPK untuk menangkap atau menahan EOSH, YAR dan YAM, hanya karena ada upaya hukum praperadilan atau karena faktor lain," imbuh Sholeh.
Sholeh Amin menyatakan, dalam sejarah penegakan hukum oleh KPK, selama ini ditujukan kepada penyelenggara negara yang diduga melakukan tindak pidana korupsi.
Namun, untuk kasus yang menjerat Eddy Hiariej selaku pejabat dan penyelenggara negara sangat berbeda karena yang bersangkutan masih bebas berkeliaran sementara pihak swasta yang bertindak sebagai pelapor yaitu Helmut Hermawan, telah menjalani penahanan.
"Kami menganggap langkah atau strategi KPK, yang melakukan pembiaran terhadap EOSH, YAR dan YAM (karena belum ditahan), merupakan langkah yang tidak serius dan tidak sungguh-sungguh mengusut perkara ini. Sungguh sikap KPK dalam perkara ini telah melukai rasa keadilan hukum," ujar Sholeh.
Sholeh juga menyorot mandeknya pengusutan mengenai transaksi mencurigakan yang mengarah kepada Eddy Hiariej.
Menurut dia, data tersebut diungkap sendiri oleh komisioner KPK beberapa waktu lalu bahwa ada aliran uang ratusan miliar yang mengalir ke rekening bank kedua asisten Eddy yaitu Yogi dan Yosi.
Namun, hingga saat ini KPK tidak lagi memprioritaskan penelusuran atas aliran uang tersebut.
"Padahal dengan mengungkap asal aliran dana ratusan miliar tersebut, maka akan menjadi terang perkara ini. Apakah terdapat kaitannya dengan perubahan-perubahan akta yang mengambil alih PT APMR dan PT CLM? Tentunya hal itu terungkap apabila KPK mau benar-benar serius mengungkap perkara ini," kata Sholeh.
Atas sejumlah fakta dan kejanggalan tersebut, Sholeh Amin mendesak KPK dapat bertindak secara profesional dan menunjukkan kewenangannya dalam menegakkan hukum tanpa pilih kasih dan tebang pilih.
Selain itu, kata dia, KPK dapat memperlakukan hal yang sama kepada terlapor untuk segera ditahan, sebagaimana yang dilakukan kepada Helmut Hermawan selaku pelapor sekaligus korban.
"KPK tidak hanya mengusut tindak pidana korupsinya saja, tetapi juga mengusut tuntas mengenai dugaan tindak pidana pencucian uang, sebagaimana yang dahulu pernah dilansir oleh KPK sendiri," pinta Sholeh.
Sholeh menyatakan, penegakan hukum dan penanganan perkara tersebut di KPK, sangat ironis.
Baca juga: KPK Telusuri Aliran Uang ke Eks Wamenkumham Eddy Hiariej
Menurut dia, langkah Helmut dengan itikad baik melapor kepada KPK selaku korban, justru ditetapkan sebagai tersangka dan telah ditahan.
"Dari kasus ini kita dapat mengambil pelajaran hukum yang nyata. Kami mengingatkan kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk berhati-hati, jangan sampai mengalami hal yang serupa dialami oleh klien kami," ujar Sholeh.