TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum PDI Perjuangan (PDIP) sekaligus Presiden ke-5, Megawati Soekarnoputri mengajukan diri menjadi amicus curiae meminta Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pilpres 2024 yang diajukan ke MK.
Amicus Curiae merupakan upaya memberikan pendapat hukum kepada pengadilan karena seseorang atau ada pihak ketiga yang merasa berkepentingan terhadap sebuah perkara.
Amicus Curiae juga lazim disebut 'Sahabat Pengadilan'. Dasar hukum dari Amicus Curiae terdapat pada Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang isinya:
“Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”
DIkutip dri jurnal hukum Universitas Islam Indonesia(UII) Yogyakarta menyebutkan Amicus Curiae hanya sebatas memberikan opini, dan bukan melakukan perlawanan.
Praktik Amicus Curiae ini sebenarnya sudah lazim dipakai di negara yang menggunakan sistem common law dan bukan sistem civil law yang dianut oleh Negara Indonesia, namun bukan berarti praktik ini tidak pernah diterapkan atau dipraktikkan di Indonesia.
Dengan demikian, dalam peradilan Indonesia, Amicus Curiae belum diatur secara jelas, namun dasar hukum diterimanya konsep Amicus Curiae di Indonesia adalah Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Diketahui Megawati dalam Amicus Curiae mengatakan, dengan memahami lahirnya konstitusi, maka setiap hakim MK wajib menempatkan Pembukaan UUD NKRI 1945, pasal-pasal yang terdapat dalam batang tubuhnya, dan penjelasan UUD NRI 1945, serta perubahan melalui Amandemen I hingga V sebagai satu kesatuan pemikiran yang dipahami dengan melihat konteks, suasana kebatinan, latar belakang, dan harapan seluruh rakyat Indonesia.
Selain itu, dia menyebut bahwa dengan mengingat sifat, tugas pokok, fungsi, dan kedudukan MK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia sebagai benteng konstitusi dan demokrasi, dirinya sengaja mencarikan sendiri lokasi MK.
"Lokasi Gedung MK sebagaimana yang pernah saya sampaikan ke Prof Jimly Asshiddiqie, ketua MK saat itu, harus berada di ring satu, suatu tempat bergengsi dekat dengan Istana Negara sebagai Pusat Kekuasaan. Pemilihan tempat ini sebagai simbol MK agar memiliki marwah, wibawa, dan lambang bagi tegaknya keadilan yang hakiki," kata Megawati dalam dokumen amicus curiae-nya yang dilihat Tribun, Selasa(16/4/2024).
Megawati menjelaskan, mencermati kuatnya pengaruh politik kekuasaan yang saat ini mencoba menyentuh independensi MK, dirinya berharap MK mampu menghadapi dua ujian besar. Pertama, ujian untuk mengembalikan kepercayaan publik yang sirna akibat dibacakannya Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Kedua, ujian untuk memeriksa sengketa Pilpres dalam jangka waktu yang singkat namun mampu menampilkan keadilan yang hakiki sesuai dengan sikap kenegarawanan para hakim MK, mengingat Pemilu memiliki dengan dampak yang sangat luas bagi kehidupan bangsa dan negara.
Melalui beberapa pertimbangan itu, Megawati meminta hakim MK tidak mengabdi kepada kekuasaan. "Para hakim MK melalui ketiga pertimbangan yang saya sampaikan di atas seharusnya tidak mengabdi kepada kekuasaan, namun mengabdi kepada rakyat Indonesia yang mempunyai hak kedaulatan rakyat," ucapnya.
Menurutnya, dengan menempatkan hak kedaulatan rakyat tersebut, maka hakim MK juga mengabdi kepada keadilan yang hakiki. "Karenanya, saya menuliskan Pendapat Sahabat Pengadilan ini dengan topik "Kenegarawanan Hakim Mahkamah Konstitusi", sebagai sebuah usulan dan bahan renungan bagi hakim Mahkamah Konstitusi," imbuhnya.