Bagi Victoria sendiri, berjalan puluhan kilometer sudah menjadi kebiasaan setiap harinya demi memperoleh pundi-pundi rupiah.
Hinaan dan perundungan katanya sudah menjadi makanan hari-hari hanya karena identitasnya.
"Kami hanya bisa mendapatkan uang dengan mengamen. Harus berjalan puluhan kilometer untuk mendapatkan uang puluhan ribu. Dan setiap harinya kami harus mendapatkan bully, hinaan, kekerasan, bahkan berujung maut," katanya dengan suara lantang.
Tentu saja mengamen tak selalu memberikan hasilan yang cukup untuk kebutuhan.
Tak jarang para transpuan terpaksa menjajakan jatah seks di malam hari demi sesuap nasi.
"Kalau uang kami tidak cukup, beberapa dari kami menjajakan jatah seks di malam harinya. Itupun kalau ada tamu yang berminat membayar," kata Victoria.
Paling banter, para transpuan yang memiliki skill atau kemampuan, bekerja sebagai perias dan pengendara ojek online.
"Itupun gaji perbulannya tidak sampai UMR," katanya.
Saking sedikitnya hasilan yang didapat, Victoria mengaku bahwa dia dan kawan-kawannya hanya sanggup untuk bertahan sampai esok hari.
Karena itu, tak jarang para transpuan terusir dari kontrakan atau kos-kosan yang ditempati.
"Banyak yang menunggak bayar kontrakan hingga diusir karena sudah berbulan-bulan tidak sanggup membayar," ujarnya.
Sejenak dia berhenti sebelum menutup orasinya.
Para peserta aksi pun seolah diajak untuk turut larut merasakan penderitaan kelompoknya.
Dia pun menutup orasi dengan pertanyaan kepada peserta aksi yang terdiri dari para pekerja perempuan.