Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ashri Fadilla
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Victoria hanya bisa terisak di bawah terik matahari Jakarta, Rabu (1/5/2024).
Pada Hari Buruh tahun ini, dia menjadi bagian dari Aliansi Perempuan Indonesia yang berunjuk rasa di Patung Kuda Arjuna Wijaya, Gambir Jakarta Pusat.
Meski tangannya agak gemetar memegang mikrofon, dia tak gentar berorasi sebagai perwakilan transpuan, kelompok yang kerap termarjinalkan.
Di hadapan massa aksi, Victoria mengingat kembali kisah kawannya yang meregang nyawa sendirian di sebuah kamar kos kecil.
Kawannya yang juga transpuan, saat itu meninggal karena penyakit tuberkulosis (TBC). Sang kawan meninggal lantaran tak punya biaya untuk berobat.
"Ada juga yang jatuh sakit dan tidak sanggup berobat ke dokter. Tahun lalu, kawan kami bernama Erni sakit TBC, harus meregangkan nyawa di kosannya," ujar Victoria sembari berusaha menahan air matanya.
Katanya, mendiang Erni saat masih hidup, terus berjuang menerjang panasnya Jakarta sembari berjuang melawan TBC.
"Tiap hari saya melihat dia harus panas-panasan berjalan ngamen di tengah kondisi batuk dan sesak napas. Dari hal ini kalian bisa paham kan betapa beratnya hidup kami?"
Kisah itu hanyalah satu contoh nasib transpuan yang menurut Victoria tak diberikan kesempatan untuk bekerja di sektor formal.
Jika para pekerja kerap menuntut kenaikan upah di Hari Buruh, maka kelompok transpuan tak menuntut muluk-muluk: ingin merasakan kerja di sektor formal.
"Kami tidak pernah merasakan gaji standar UMR. Pekerjaan kami tidak pernah mendapatkan jaminan sosial. Tidak dapat gaji lembur. Bahkan tidak dapat THR. Kenapa? Karena identitas kami dipermasalahkan," ujarnya dengan suara lirih.
Alhasil, kelompok ini hanya bisa mengandalkan pemasukan dari sektor informal.
Umumnya para transpuan mengelilingi ibukota untuk mengamen dari siang hingga malam.